Aryo Penangsang – Hadiwijaya – Panembahan Senopati
Aryo Penangsang
Tak hendak merawat luka Demak
Istana terbakar,
abu hanya debu sejarah,
alamat segala yang punah
Mungkin, yang kukenang
hanyalah senyum tipis Hadiwijaya
Menikam jantung malam,
saat ia bergegas membawa tahta
dan Putri Sekar Kedaton ke pedalaman Pajang.
Menantu berhati kemenyan dan kembang itu
Menjauh dari debur ombak
Pantai Utara yang merekam jejak para Wali.
Tembang Palaran yang kulantunkan
menembus tembok istana Pajang,
menembus rongga dana Hadiwijaya
Perang di sungai Bengawan Sore pun terbayang
di benaknya: ususku terburai dan tubuhku membeku
mengapung bersama Gagak Rimang, kudaku tersayang
Lalu bocah ingusan Danang Sutawijaya muncul jadi
pahlawan:
tombaknya merobek perutku,
begitu pujangga istana Pajang
menulis riwayat perang seperti yang dibayangkan
Perang itu tak pernah terjadi. Tak pernah.
Hadiwijaya memutus urat nadi dan mengucilkan kami di
pulau kawanan gagak hitam, dengan tebusan penaklukan
Hatiku tergugat jerit jelata para soreng
Kuputusan mokah, kupenggal puasa panjangku
Lalu, perlawanan tenggelam
Namaku terpahat pada monumen kekalahan
Kutelan sumpah serapah mereka dalam setiap ziarah
Hadiwijaya
Bulan Merah yang kutelan,
bulan yang muntah dari rahim Ibuku
Kalian telah mengambilnya lebih dari seabad
memasukkan dalam Tempayan Demak
direbus air laut :
bulan manis jadi serasa telor asin
merahnya mengelupas jadi putih
Aku hanya menjalankan titah sejarah
mengembalikan Bulan Putih jadi Merah
dan memeramnya di lumbung padi
agar menetas jadi tarian Dewi Sri
mungkin dengan sedikit sesaji
atau mantera puja-puji
Pesisir dan pedalaman
hamparan pasir dan tanah hutan
butuh biji berbeda
Maka kupilih Bulan Merah
bukan Bulan Putih,
agar sejarah Jawa tak jadi buih
Panembahan Senopati
Romo, Bulan Merah itu
terlanjur kutelan. Lumat dalam lambung,
lindap dalam darah. Jadi tenaga memancar.
Aku ingin Mataram jadi besar.
Melebihi Pajang.
Tanpa harus tergelar perang.
Kecuali Romo Hadiwijaya ingkar
Menyerahkan bumi separuh semangka.
Di pagi yang murung,
Hadiwijaya menimbang-bimbang:
Menyerahkan separuh tanah Jawa,
melahirkan matahari baru
Dan, ia tak ingin matahari Pajang padam
Kini terhidang pilihan:
Patuh pada kemuliaan ucapan ratu
Atau menghadapi seteru?
Danang Sutawijaya, bukan lagi bocah ingusan
yang ditimang dalam gendongan
Ki Pemanahan dan Ki Juru Mertani
telah menyuapi dengan api
Api itu berkobar, membakar Pajang yang gusar
Lelaki api telah bertahta
Bergelar Panembahan Senopati
Hadiwijaya membeku dikeroyok jutaan bakteri
Sebelum ia wafat,
sebelum Pajang berkabung,
ada perasaan menggantung:
Bangga atau sesal tak gampang dihitung
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Indra Tranggono
[2]Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 4 Maret 2018