Pintu Hijau (3)
Aku terperangah! Juga mungkin teman-teman sebayaku yang lain. Aku paham betul sudah, aku diajari cara menyambut tamu dan macam-macam, serta memilih saluran radio yang tepat di malam hari ternyata tak lain untuk makan malam kaum lelaki. Aku takut dan menyadari aku telah ditipu paman. Di sini juga tak ada Yani. Aku telah dibohongi paman.
Paman di mana? Aku tak tahu di bagian mana ia tinggal di kota ini. Memang ia kadang-kadang berkunjung ke tempat ini. Tapi jarang sekali. Aku takut tapi tak tahu harus berbuat apa. Yang ada di pikiranku yang ada hanya rumah. Aku kangen sekali pada ayah dan ibuku. Aku sering menangis pada malam hari sampai larut. Sementara setiap malam dans iang begitu banyak lelaki berdatangan ke tempat ini. Dan aku, terpaksa sekali melayaninya. Kalau tidak, Suliman tak segan-segan menyakitiku, bahkan bisa jadi akan membunuhku.
Hingga oada suatu hari berikut kecemasan dan ketakutan-ketakutan yang menderaku, datanglah Bang Rusydi. Aku bertemu dengannya di pasar ketika aku hendak membeli alat-alat wajahku yang habis. Serta membeli sabun. Dan sabunlah yang memertemukan aku dengan Bang Rusydi.
Bisa dibilang Bang Rusydi sama dengan lelaki kebanyakan. Hanya saja sehabis kami melakukan hubungan, ia tidak langsung pulang, tetapi berbincang-bincang denganku, bertanya ini itu, sampai pada tempat di mana aku dilahirkan, tak lupa ia tanyakan.
Bang Rusydi mulai terbuka dan banyak bertanya padaku setelah pertemuan yang kesekian kalinya. DI awal-awal, ia banyak diam entah kenapa. Dan pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang cukup sering, Bang Rusydi selalu mendesakku bercerita tentang orangtuaku, rumahku, bahkan jalan-jalan yang mesti dilalui ke rumahku sangat detil ia tanyakan. Ia sangat antusias bila berbicara tentang jalan menuju ke rumahku.
Pertanyaan itu yang paling menakutkan. Sebab oleh Suliman aku dilarang keras memberi tahu dari mana aku berasal. Melainkan aku harus bilang bahwa aku perempuan asli kota ini. Entah kenapa, aku mengatakan tentang diriku pada Bang Rusydi.
Pada akhirnya, aku gagal menyembunyikan apa yang telah kulakukan itu. Karena perbuatanku itu, oleh Suliman aku dihukum. Aku ditampar sekeras-kerasnya oleh tangannya yang kasar. Bibirku berdarah, tubuhku lemas sekali.
Tidak hanya itu, aku bahkan dikurung di dalam kamar tanpa diberi makan.
Setelah beberapa hari mendekam di kamar, mungkin tiga atau empat hari, aku mulai merasakan pandanganku kabur, tenagaku serasa hilang semua. Tapi aku masih sadar dan bisa mendengar.
Dan ketika itu, dengan sedikit kesadaran dan ekpala pening karena belum minum apalagi makan, aku sadar dan bisa mendengar suara yang ada di luar kamar. Aku kaget! Bukankah itu suara paman? Dugaku.
“Mana Malina?” Paman bertanya.
“Ah Debing, perempuan yang kamu bawa itu kurang ajar!”
BUkankah suara yang keras dan mengancam itu suaranya Suliman? Terkaku. Lalu terdengar bunyi pukulan yang sangat keras. Serentak paman berteriak. Tidak jelas apa yang diteriakkan.
“Sisa uangmu tidak akan aku bayar!” kata Suliman lagi.
“Potong kaki kanannya!” perintah Suliman, sepertinya pada anak buahnya yang sering saban malam aku lihat selalu menjaga tempat ini.
“Cari tamu itu! Beri dia pelajaran! Kalau perlu jangan diberi ampun!” lanjutnya.
Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi, sebab aku merasa semakin lemas dan tak ingat apa-apa lagi ketika itu.
Setelah aku selesai membaca catatan itu kulihat kakek diam saja. Dan aku tidak mengerti catatan apa ini. Kenapa kakek menyuruhku membacakannya? Sepenting apakah itu buat kakek? Dan aku tidak tahu dengan perasaanku setelah membaca catatan itu.
Terbayang di kepala seorang perempuan yang menuliskannya: Malina. Dari catatannya, tentu Malina sangat menderita.
“Pulanglah. Kembalilah besok malam, Nak” kata kakek setelah aku mengembalikan catatan itu padanya.
Aku ingin bertanya, namun lagi-lagi urung aku tanyakan. Dari catatan itu, aku cuma kenal satu hal saja. Satu orang saja. Yakni Rusydi. Itu nama kakek.
Aku pulang membawa ketidakmengertian akan catatan itu. ❑ (bersambung)-c