Pintu Hijau 15
Paginya ketika itu, Imah datang ke kosku dan memberitahuku bahwa Malina tak bisa lagi menemuiku.
”Suliman telah datang. Dan Malina dikunci sudah tiga hari ini di kamarnya tanpa diberi makan!“ kata Imah tersendat-sendat memberitahuku.
”Apa yang terjadi pada Malina, Imah?“ tanyaku tidak sabar dalam keterkejutan.
”Paman Malina, Paman Debing, kemarin datang dan dia dihajar!“ kata Imah. ”Mungkin dia hanya tinggal menunggu ajak. Mungkin kaki kanannya akan seperti kaki kirinya.“
Aku tak bisa berbicara apa pun saat itu hingga Imah pulang dan dia memintaku sesegera mungkin pindah dari kosku, karena posisiku sudah tidak aman.
”Mudinar akan kembali mendatangimu dan akan memukulmu,“ kata Imah sebelum akhirnya ia lenyap di balik pagar kos.
Sehari kemudian setelah Imah memberitahuku bahwa malina dikurung tiga hari, aku datang ke Pintu Hijau dan melihat dari jauh tempat itu. pintu kamar Malina dalam keadaan tertutup. Tertutup terus sampai malam.
Dari jauh aku lihat suasana Pintu Hijau masih berjalan sebagaimana biasa. Ada sekitar sepuluh lebih kamar di sana dan sejauh yang kulihat semua pintu kamar-kamar itu masih dibuka dan ditutup seperti biasa: mengeluarkan pengunjung dan memasukkan pengunjung. Kecuali, ya, kecuali kamar Malina yang terus tertutup.
Aku tak berani bertindak lebih jauh untuk datang ke kamar Malina. Meskipun aku sangat menginginkan, melebihi keinginanku pada apa pun saat itu. Aku berpikir sehat, misalnya aku ke sana, bisa-bisa mereka yang berjaga akan mencelakaiku. Aku menanam keyakinan dan juga bersamaan dengan ketakutan, bahwa tidak akan terjadi apa-apa pada Malina. Tidak mungkin mereka tega mencelakai Malina. Sebenarnya, keyakinan ini lebih tepat dikatakan menghibur diri dari pada disebut keyakinan.
Aku pulang larut malam ketika itu dan di jalan berbatu di samping kiri pasar berpapasan dengan Imah yang ternyata datang ke kosku, dan tidak menemukanku. Menungguku lama di kos. Kata Imah, sewaktu dia keluar dari Pintu Hijau untuk menemuiku, dia tidak lewat jalan seperti biasanya, lewat jalan menyamping di belakang Pintu Hijau. Makanya saat aku melihat Pintu Hijau dari jauh, aku tidak melihat Imah saat dia keluar.
Tanpa berbicara banyak Imah menyeretku ke dalam pasar yang cukup gelap.
”Bagaimana Malina? Bagaimana kamu bisa keluar?“
”Dia masih dikurung tapi sudah diberi makan. Aku yang ditugaskan memberinya makan,“ kata Imah.
”Suliman sepupuku. Dia tidak terlalu mengekangku selama aku tidak berbuat macam-macam. Aku bilang mau ke Mbok.“
Aku terkejut mendengar pernyataan Imah. Tidak bisa tidak aku bertanya lebih jauh.
”Bagaimana bisa dia membawamu?“
”Suliman meyakinkan orangtuaku untuk menguliahkanku. Sama seperti Paman Malina yang juga berbuat begitu pada orangtua Malina.“
”Apa yang bisa kita lakukan agar Malina dan kamu keluar dari Pintu Hijau?“ tanyaku.
”Tidak ada.“
Imah diam beberapa saat.
”Malina menulis surat untukmu. Kamu juga harus tahu Malina mengandung anakmu. Dia tidak pernah ke Mbok sejak dua bulan lalu.“
Saat itu aku tak yakin yang dikatakan Imah. Kalau benar memang Malina hamil, aku meragukan ia mengandung anakku. Tentu saja selama waktu dua bulanan itu aku tidur dengan Malina.
Aku terima surat dari kertas sabun yang diberikan Imah dan setelah itu Imah kembali ke Pintu Hijau. Aku juga segera kembali ke kos. Sesampainya di kos, aku membaca surat dari Malina.
KETIKA cerita kakek sampai pada bagian di mana Bang Rusydi –kakekku itu—menerima surat dari Imah dan kemudian membaca surat itu di kosnya, kakek menghentikan ceritanya sebentar. Beliau turun dari ranjangnya dan mengambil kotak kayu di lemari.
Kotak kayu itu tak lain memang kotak amal seperti di masjid-masjid. Kakek membuka kota itu saat kembali ke ranjang. Kurang lebih menghabiskan waktu satu menit kakek memilah-milah beberapa kertas yang hampir semuanya bungkus sabun. Bungkus Sabun Bunga Permata.
Setelah memilah-milah,kakek mengambil salah satu kertas itu dan memberikannya pada ibu. Ibu membacanya. Kakek dan aku menyimaknya. ❑ (bersambung)-c