Pintu Hijau 23
Kami meninggalkan kompleks pemakaman tepat ketika azan Subuh berkumandang di beberapa masjid. Ibu di samping kiriku duduk diam menunduk. Kakek di belakang, kulihat dari spion tengah mobil, juga diam menunduk. Aku mengemudi mobil seperti dalam mimpi.
Sesampainya di rumah kakek, kami salat Subuh berjamaah. Kakek imamnya. Selesai salat, kami bersalaman dan kakek berkata setelah selesai salaman.
”Kamu cucunya Malina,“ kata kakek padaku. ”Sekitar setengah tahun lebih sejak surat terakhir Malina, Imah membawa serta Ibumu yang masih bayi menemuiku di masjid balai kota. Imah bilang, Malina dibawa orang-orang berseragam. Tepatnya, Malina ditangkap bersama perempuan-perempuan lainnya di Pintu Hijau, sementara Imah lolos dari tangkapan itu dan berlari membawa anak Malina, Ibumu. Juga sebagaian catatan Malina.“ Kakek menatap ibu.
”Kenapa ditangkap, Ayah?“ tanya Ibu.
”Pintu Hijau dibangun di atas tanah milik negara. Dan negara membutuhkan membutuhkan tanah itu untuk membangun gedung perkantoran pemerintahan daerah dan taman kota di sampingnya. Karena itu Pintu Hijau harus dilenyapkan. Memang dilenyapkan bersama para penghuninya-penghuninya.“
”Apa yang terjadi pada Nenek Malina setelah ditangkap?“ tanyaku.
”Tak ada kabar sampai sekarang.“
”Lalu Ayah menikah dengan Bibi Imah?“ tanya ibu seperti menebak atau menduga.
”Iya. Aku menikah dengan Imah, di rumah Imah. Kami juga menceritakan pada keluarga Imah tentang apa yang terjadi, tentang kejahatan sepupunya Suliman. Setelah menikah aku dan Imah kembali ke kota ini. Dan Imah memutuskan menjadi Salamah setelah kami menikah. Imah mengubah namanya untuk menghilangkan jejaknya sebagai perempuan Pintu Hijau. Mungkin di kota ini, masih ada salah satu pengunjung Imah yang masih hidup. Beberapa kali ketika Imah masih hidup bertemu dengan salah satu pengunjungnya. Bahkan terang-terangan menyapanya. Tapi Imah selalu berkilah dia Salamah, bukan Imah.“
”Tidakkah kurang baik tinggal di kota ini, Ayah?“ kata ibu.
”Memang tidak baik. Tinggal di rumah Imah juga tidak lebih baik. Bagaimana pun, tidak semua orang, terutama tetangga-tetangga Imah percaya terhadap yang diceritakan Imah tentang hidupnya, tentang Pintu Hijau.“
”Dan Ibu?“ tanyaku.
”Imah mengatakan pada kedua orangtuanya, bahwa Ibumu adalah anaknya.“
”Dan Ayah?“ tanya ibu.
”Aku bilang pada kedua orangtua Imah, aku yang bertanggung jawab.“
”Mereka percaya?“
”Percaya. Kecuali tetangga-tetangga. Mereka menjadikan itu sebagai bahan untuk menggunjing keluarga Imah.“
Setelah menjawab itu kakek berdiri dan beranjak ke kamarnya. Langkahnya lemah dan lelah.
”Berhenti! Berhenti sebentar di sini!“ kata Ibu tiba-tiba, aku setengah kaget.
”Ada apa, Bu?“ tanyaku sembari mengirikan mobil dan berhenti di pinggir jalan.
Ibu turun dari mobil tanpa berkata-kata. Aku juga turun dari mobil dan mengikuti ibu dengan tidak mengerti.
”Lihat, Nak!“ kata ibu menunjuk. Lihat gedung perkantoran itu, Nak!“
”Apa yang terjadi, Bu? Aku tidak mengerti.“
”Lihatlah! Pintu-pintu gedung rumah dinas itu. Pintu-pintunya, pintunya, pintunya, pintu-pintunya berwarna hijau!“ Ibu tersedak mengucapkan kalimat-kalimatnya.
Aku terkejut. Mulutku seperti terkunci. Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku dan segera aku ingat: Ayahku yang ngantor tiap hari di kantor itu tak pernah bercerita padaku dan pada ibu tentang warna pintu-pintu rumah dians tempat beliau bekerja selama ini.
Tidak bisa tidak aku harus memberitahu kalian semua, kalau suatu saat kalian berkunjung ke kotaku, singgahlah sebentar di kantor pemerintahan provinsi, lihatlah pintu-pintunya. Pintu berwarna hijau dengan taman kota di sampingnya yang juga hijau oleh pohon-pohon dan bunga-bunga. ❑ (Tamat)-c