BAGAIKAN cappucino, espresso segar yang bisa menghilangkan kantuk dicampur dengan steam milk di atasnya untuk menyeimbangkan kekuatan kopi dengan susu yang biasanya membantu untuk bisa tidur nyenyak. Layaknya pasangan hidup harus seimbang, lebih sempurna lagi dibumbui dengan gula merah dan bubuk kayu manis. Gula sebagai manisnya cinta dan kayu manis untuk menguatkan rasa cinta itu sendiri.
Tetapi rupanya cappucino itu sudah tak lagi sesedap dan sesegar seperti ketika biji-biji kopi itu selesai dipanggang dan dihancurkan untuk dimasukkan ke mesin pembuat espresso. Susunya pun sudah kedaluwarsa, gulanya pun tak ada, apalagi kayu manis untuk membumbuinya.
Pernikahanku sedang berada di ujung tanduk sejak sebuah kata telah terucap, kata yang selalu tertahan untuk kukeluarkan dalam setiap pertikaian yang terjadi antara kami berdua.
Tak pernah ingin kukeluarkan kata ’bercerai’ dari mulutku kepada lelaki yang telah kunikahi selama lima tahun ini. Tetapi apa dayaku, amarahlah yang menguasai diriku untuk akhirnya mengucapkan kata-kata ancaman ingin berpisah.
Tak kuasa tercetuskan, masih tak percaya bahwa kumampu melontarkannya kepada lelaki yang telah berjuang penuh untuk menikahiku lima tahun yang lalu.
Walau sebenarnya tak ingin terucap dan mengorbankan semua perjuangan yang telah kubangun bersamanya. Tetapi hal itu sudah terjadi, kopiku pun sudah asam dan tak akan pernah bisa membuat espresso yang sempurna. Baik aku dan dirinya telah berkeras hati, cinta kuat yang pernah kami miliki, hilang entah ke mana. Tak ada lagi rasa itu, tak ada lagi keinginan untuk memperbaiki, semuanya terasa pahit sekaligus asam seperti kopi basi yang tak bisa digunakan untuk membuat minuman kopi terbaik.
Kopi itu memang pahit tetapi kalau segar, pahitnya tidak asam. Aku adalah penggemar kopi yang rela pergi ke Turki, Yunani dan Italia — tempat kopi menjadi sebuah kultur, bukan hanya minuman biasa yang bisa dibeli di kafe. Seorang ibu rumah tangga di sana pun wajib hukumnya bisa menghidangkan kopi yang baik untuk suami dan tamunya.
Berbicara mengenai kopi tak akan pernah selesai, apalagi jika ditemani kopi segar, ”A cup of good coffee is a good time, it boost your day!”
Itu yang dikatakan Ditto saat pertama kali bertemu di sebuah gerai kopi ternama di Jakarta. Ia adalah barista di sana yang tanpa bertanya apa yang ingin kupesan, langsung menyodorkan secangkir cappuccino dengan taburan coklat bubuk di atasnya dan sepotong brownies.
“Hei, bagaimana kau tahu apa yang ingin kupesan?” tanyaku pada saat itu.
“Tipemu itu cappuccino, segala sesuatunya harus seimbang; komposisi espresso dan susunya. Semuanya harus selaras dan kamu tak pernah memesan french coffee, jadi ya … “
Ternyata ia memperhatikanku, ya aku selalu datang ke sana selain untuk memperoleh
free wi-fi juga untuk menikmati kopi sekaligus mencari bahan-bahan makalah untuk kuliah. Hari itu mungkin karena kopinya benar-benar enak dan diramu dengan
rasa cinta dari Ditto membuatku terjaga dan tak terasa aku di sana sampai saatnya tutup.
“Hai, masih mau pesan kopi? Soalnya ini sudah waktunya tutup.” Tanya Ditto.
“Oh, maaf. Saking fokus tak terasa waktu sudah larut,” jawabku sedikit terkejut.
“Interesting. Browsing tentang kopi?” tanyanya lagi setelah melirik layar laptopku.
”Iya, untuk kuliahku. Aku ingin mengungkapkan sejarah dan kultur minum kopi.”
”Oh, kamu juga penggemar kopi?”
”Iya.” aku menjawab sambil tersenyum.
”Maaf, lupa memperkenalkan diriku. Namaku Ditto kependekan dari Freditto, orang tuaku suka sekali minuman dingin campuran susu, coklat dan kopi. Ketika mereka berbulan madu di Yunani saat musim panas, mereka menemukan minuman itu di Athena saat suhu melewati 40 derajat celcius. Musim panas di sana terkadang panasnya jauh lebih terik dibanding Jakarta dan minuman itulah yang menyegarkan mereka.”
”Oh ya? Besok siang buatkan minuman itu untukku, yah!” Aku pergi dari gerai kopi itu tanpa memberikan namaku kepadanya. Seperti biasa aku membuat lelaki yang menyukaiku menjadi penasaran terhadapku.
Keesokan harinya, setelah berjalan kaki dari tempat kuliahku, tepat pukul 14.00 di Jakarta, dengan panas yang tak terbayangkan. Saat yang tepat untuk mampir mencoba minuman freditto, ujarku membantin sambil melangkahkan kaki ke gerai kopi dimana Ditto bekerja.
Ditto sudah memperhatikanku sejak aku mulai memasuki area kafe dan ketika aku sampai di depan kasir ia langsung memberikan minuman itu, ’freditto’.
”Wow, cepat sekali servisnya, pantas memperoleh tip,” ujarku sambil memberikan selembar uang.
”Enggak perlu, coba dulu minuman ini sambil merasakan seperti apa diriku,” kedipnya sambil disenyumi oleh rekan-rekannya.
Benar-benar menyegarkan, aku memang penggemar coklat dicampur susu dan kopi yang tercampursempurna oleh mesin pembuat milkshake yang memprosesnya seperti es krim yang hampir jadi. Minuman itu langsung menjadi favoritku selain capuccino.
”Jadi bagaimana menurutmu tentang Freddito?” Ia menghampiriku setelah minuman itu mencapai setengah gelas.
”Enak dan menyegarkan, benar-benar kombinasi super,” jawabku.
”Seperti aku, dong!” ujarnya dengan percaya diri.
Aku hanya menjawab dengan senyuman, walau aku tahu ia menungguku mengungkapkan namaku padanya. Hari itu aku tak lama berada disana karena teman kuliahku, Edo menjemputku untuk pergi ke toko buku mencari tambahan bahan makalah kami.
Sejak saat itu pula, ketika aku datang ke gerai kopi itu lagi tak pernah langsung siap saji sebelum kupesan karena Ditto tak ada.
Sampai lima hari berturut-turut aku mengecek Ditto, tapi sejak kedatangan Edo ia tak pernah lagi ada di sana. Antara sedikit kecewa dan ge-er dicampur penasaran akhirnya aku bertanya ke mana perginya Ditto kepada rekan kerjanya.
“Hai, Ditto ke mana?” tanyaku.
“Oh, Mas Ditto sekarang tidak di sini lagi. Ia di kantor pusat,” jawabnya.
”Oh ya? Kenapa, bukannya dia suka pekerjaannya?” tanyaku penasaran.
”Mas Ditto itu anak pemilik gerai kopi ini, Mbak, ia sekarang ditempatkan di pusat di bagian manajemen, kemarin-kemarin ia di sini menjadi barista karena mbak.”
Aku sedikit terperanjat mendengarnya, ada lelaki yang rela berpura-pura menjadi barista demi berkenalan dengan diriku. Sekarang aku yang dibuatnya penasaran.
”Baiklah, kalau ia mampir ke sini bilang, ia ditanyain sama Dina.”
”Kenapa tidak menyampaikan sendiri, tuh, Mas Ditto datang,” ujarnya sambil tersenyum.
”Hai, kangen sama minuman buatanku?” tegur Ditto dari belakangku.
Malu aku pada saat itu, wajahku pasti bersemu merah karena kurasakan udara panas mengisi sebagian besar area wajah saat itu. Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
”Hai, aku di sini, kok, kamu malah menghindar?” Ia mengejarku ke meja tempatku duduk dengan secangkir cappucino.
”Sudahlah jangan mengolokku, kamu menang,” ujarku menunduk.
”Hahaha… kamu lucu kalau malu.”
Aku melemparnya dengan gulungan tisu, sampai akhirnya kami mengobrol tentang kopi bahkan sampai gerai itu tutup. Ia pun berkeras mengantarkan aku pulang, walau telah kutolak berkali-kali sampai ia mengejarku di jalan. Akhirnya kami berdua berada di mobilnya.
Tepat di depan rumahku,
”Dina, aku ingin mengenalmu. Boleh, kan?”
”Hmmm, baiklah. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu di luar topik kopi.”
”Tentunya, boleh kutahu nomor teleponmu?” ujarnya sopan.
”Atau kalau masih ragu, kita bertemu di gerai kopi itu lagi. Biar pegawaiku akan meneleponku jika kamu muncul di sana.
”Hahaha… tak usah. 081xxxxxxxxx, ” ujarku, dan ia segera mencoba meneleponku. .
”Takut aku berbohong?” sindirku.
”Tidak, biar kalau kutelepon kamu tahu itu nomor siapa,” jawabnya santai.
”Selamat malam, terima kasih kopinya.”
”Sama-sama, sampai jumpa.”
Itulah saat resmi kami berkenalan. Aneh memang tapi cinta itu bisa saja datang menghampiri tanpa diduga ataupun diundang, tiba-tiba dan berkesan sepanjang masa.
Kopi itu bagaikan penghubung cinta kami, merajut ikatan yang kuat antara kami tapi kopi juga yang membuatnya kandas. Setelah lima tahun pernikahan kami, Ditto pun masih suka mengunjungi gerai-gerai kopi milik perusahaannya di saat itu pun ia menemukan sosok penggemar kopi yang jauh lebih muda dari diriku.
Seperti saat ia jatuh hati padaku, ia pun tetap melakukan trik rayuan yang sama kepada perempuan itu. Aku lama memperhatikannya dari jauh. Saat itu pula lenyaplah segala rasa bahkan rajutan cinta yang pernah kami rangkai, terkoyak sudah. Hatiku rasanya seperti; terkena uap panas dari mesin kopi berkekuatan 15 bar yang melepuhkan tangan barista tanpa sengaja saat membersihkan mesin. Sakit, pedih dan butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.
Jika saat jatuh cinta freditto menjadi minuman favoritku ketika perceraian terjadi layaknya proses pembuatan Turkish Coffee, butuh beberapa kali dididihkan diibrik* sampai berbusa dan diminum menunggu setelah ampasnya turun di dasar cangkir.
***
Setelah proses perceraianyang berlangsung empat bulan lamanya…
Di luar ruang sidang kami bertemu kembali, ia membawa segelas Freditto untukku. Kami kembali bisa mengobrol dan tertawa tentang kopi dan bisnis kopi kami.
”Mengapa hal ini terjadi kepada kita, Dina?”
”Mengapa kamu jatuh cinta kepada perempuan itu?”
”Karena ia mengingatkan akan dirimu yang dulu.”
”Memangnya aku berubah?”
”Kamu terlalu mementingkan kopi-kopi itu, aku kesepian.”
”Aku berusaha membantumu mengembangkan bisnis orang tuamu.”
”Memang, tapi kamu lupa menjadikan diriku menjadi yang terpenting dari kopi.”
”Aku rindu dirimu yang dulu, pencinta kopi yang bukan wanita sibuk.”
Mengapa di saat menjelang keputusan perceraian kami diketukkan hakim setelah waktu rehat, saat itu pula kami bisa berbicara dengan kepala dingin. Segala kemarahan yang ada sudah mengendap di dasar cangkir kopi kami masing-masing.
”Maafkan aku yang telah mengkhianatimu, tapi sesungguhnya aku rindu akan dirimu.”
Sulit bagiku untuk bisa mengatakan memaafkannya tetapi, ”Jika kamu memang ingin mencintai dan membuatku jatuh cinta lagi silahkan, tapi biarlah kita buka lembaran baru.”
Ditto menggengam tanganku dan aku membiarkannya. Ketika kedua pengacara kami masing-masing mengajak kami memasuki ruang persidangan kembali sambil menunggu keputusan hakim.
Perceraian tetap harus terjadi, tetapi kami memulai lagi dengan kopi yang baru, bukan lagi freditto yang dingin tetapi freditto hangat yaitu mochacino. Minuman favorit terbaru di gerai kopi kami yang merupakan gabungan
cappuccino dan freditto. Tak ada yang bisa berjalan jika satu sama lain saling berkeras, jika di-blend maka tak ada lagi yang mendominasi.
Undangan pernikahan kembali disebar setelah tiga bulan perceraian terjadi. Ditto dan Dina kembali dipersatukan dalam tali pernikahan dan kali ini dengan bonus hasil blend mereka, janin bayi kembar di rahim Dina hadir di antara mereka.
Catatan:
*Ibrik = merupakan teko kopi bergagang panjang dan merupakan salah satu wujud paling eksotis dan khas untuk menyiapkan kopi Turki.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya ‘pembaca Femina’ a/n Vika Rahelia
[2] Pernah termuat di situs
www.femina.co.id –namun bukan merupakan karya yang terbit di Majalah Femina Cetak