Labirin Depresi
menyedihkan ini, yang dapat saya lakukan hanya menulis kembali kisah ini
berulang-ulang. Kau tahu, ini seperti memasuki suatu tempat bernama masa lalu
yang penuh dengan jalan dan lorong berliku dan simpang siur. Di setiap sisi jalan,
berdiri skrin yang memutar kisah-kisah yang hanya dapat membuatmu tersenyum
bahagia dan menangis menyedihkan. Kau tahu, pekerjaan ini amat menyiksa jiwa.
Bagaimanapun, saya harus menuliskannya agar mereka dapat percaya.
yang berembus amat sedikit. Saya membuka kaca jendela dan membiarkan pintu
kamar terbuka. Udara yag amat sedikit itu tak bisa masuk. Tepat di halaman
depan kamar kos, tumbuh pohon rambutan berdahan rendah, berdaun lebat, menutupi
arah embusan angin. Hawa panas menguasai segala. Yang saya rasakan saat itu
adalah rasa lapar yang mengerikan, ulu hati pedis, tenggorokan kering, dan
kepala pening. Keadaan itu membuat tubuh saya gemetaran sepanjang siang itu.
Saya membaringkan tubuh di atas kasur tipis dalam upaya menikmati keadaan
mengerikan itu. Mata saya tiba-tiba kabur, tertutup dengan sendiri. Saya berusaha
membuka dengan paksa. Setiap kali upaya itu saya lakukan, saraf di sekitar mata
tertarik dan perih di seluruh kepala. Serangan lain datang, saya tak dapat
menggerakkan tubuh seperti mereka tak dapat menjalankan pesan otak.
sebuah taman yang abadi di ingatan. Di bangku taman warna hitam mengkilat oleh
cat minyak, saya menemukan Monika. Ia masih seperti dulu. Rambut panjangnya
masih dibiarkan terurai diterpa angin, masih membaca novel serius, dan masih
minum kopi. Ia selalu tampak cantik di mata saya. Ia perempuan terbaik yang
pernah saya kenal. Anehnya, saat itu, air mukanya muram. Ada air mata yang
tertahan di sudut matanya dan ia memesan dua gelas kopi.
erat buku tebal itu seperti mendekap seseorang dengan perasaan sayang yang
sempura, meninggalkan taman itu dengan langkah rapuh. Jalan di depan taman itu
amat sibuk. Ia hendak menyeberang ke sisi lain jalan. Pandangannya lurus dan
kosong. Ia tak memperhatikan kendaraan yang datang dari kiri dan kanannya dan
begitu saja menyeberang. Dari arah kiri, meluncur mobil hitam dengan kecepatan
tinggi. Saya tahu apa yang akan terjadi. Saya meneriakinya berkali-kali, tetapi
ia tidak menoleh. Saya ingin berlari ke arahnya, tetapi sebuah dinding tak
kasat mata menghantam kening saya. Dalam ketakutan dan kepanikan yang
mengerikan, saya melihat mobil itu menghantam tubuh Monika hingga terhempas
jauh. Kepalanya membentur aspal dan darah segar mengalir membasahi aspal. Saya berteriak,
meraung-raung, dan berusaha mendekat, tapi sia-sia. Mobil itu menepi dan keluar
dua lelaki muda yang amat saya kenal: Bob dan Andre.
![]() |
Ilustrasi karya Fahrul Satria N |
SAAT membalik
badan, mata saya terbuka. Sebuah gagasan tiba-tiba terbit di kepala saya:
mereka telah membunuh Monika. Saya berdiri dengan amarah yang tak tertangguhkan lagi dan perasaan kehilangan yang
menyerang, meraih pisau di atas meja belajar. Di teras kos, terdengar suara tawa
Bob dan Andre. Mereka terkejut ketika saya muncul dengan wajah yang aneh dan
sebuah pisau di tangan.
sigap menghindar. Saya terus mengejar mereka, hingga pada satu kesempatan, saya
mendapat Andre dan menancapkan pisau ke rusuk kirinya. Saya meninggalkannya
meringis kesakitan dan mengejar Bob sambil berteriak “Pembunuh! Pembunuh!
Bangsat!”. Saya tak mendapat Bob sebab segerombolan polisi datang, memberikan
setrum listrik di leher, dan saya tak sadarkan diri.
kekar dalam keadaan setengah sadar. Mereka membaringkan saya di tempat tidur. Seorang
berpakaian putih-putih menyuntikkan cairan di lengan saya. Sayup-sayup
terdengar ketukan sol sepatu yang teratur di lantai. Kemudian terdengar gagang
pintu diputar, dorongan pada pintu yang amat pelan, dan bunyi pintu ditutup
dengan kasar. Seorang lelaki tua, beruban seluruhnya, berkaca mata, mengenakan
kemeja putih panjang sampai lutut, melangkah menenteng
tas dan duduk pada kursi di samping meja. Dengan gerakan teratur, ia membuk
atas, mengambil sebuah map, membukanya, memperbaiki posisi kacamata dan mulai
membaca.
dibawa ke sini, dalam ruagan tanpa jendela, tak berdaya di atas tempat tidur. Saya
ingat saya telah melakukan hal yang benar. Bob dan Andre pantas mendapatkannya.
Tanya saya lemah tak ada daya.
memperbaiki posisi duduknya, kemudian berbicara tanpa memedulikan pertanyaan
saya. Ia mengatakan bahwa mereka telah menyuntik cairan vitamin ke dalam tubuh
saya. Dengan senyum, ia mengatakan bahwa saat ini saya terlihat lebih segar dan
tampak lebih baik. Saya amat meragukan ucapannya sebab ketika bergerak,
sendi-sendi saya terasa perih, kepala terasa pening, dan rasa lapar tak
tertangguhkan. Saya merasa tidak begitu baik saat itu. Ia menanyakan akan apa
yang saya rasakan saat itu? Saya tak menjawab pertanyaannya. Diam menatap
kosong tembok ruangan.
itu. Entah malam, entah siang, saya tak tahu. Tak ada sesuatu hal yang bisa dijadikan pedoman. Tak ada jam
dinding dalam ruangan itu. lelaki tua itu menggeser nampan aluminium sebagai
isyarat agar saya segra makan. Nasi, sayur, dan sepotong ayam yang sudah
dingin. Tanpa peduli padanya, saya melahap makanan itu, minum air, kemudian
duduk di tempat tidur. Beberapa saat, kami diam.
pertanyaan saya. Namun, pertanyaan soal Monika menggugah hati saya.
mengingat kenangan bahagia bersamanya. Memikirkannya seperti upaya bunuh diri
secara perlahan. Amat menyakitkan. Saya mengenal Monika 10 tahun lalu. Kami
satu jurusan. Ia masih anak desa yang tak pandai berdandan. Aku menyukai
rambutnya yang dibiarkan terurai diterpa angin, kulit putih bercahaya, dan
matanya bersinar seperti bintang kejora. Ia suka melepas senyum indahnya kepada
siapa saja. Giginya rapid an putih. Jika tertawa, ia selalu menutup mulutnya
dan terdengarlah tawa kikik yang menggemaskan. Monika adalah kecantikan alami
terbaik yang pernah saya temui.
perempuan modern dengan wawasan luas. Namun, tetap saja ia sederhana dan rendah
hati. rasanya aneh sekali saat dia lebih memilih saya daripada lelaki lain yang
lebih tampan dan mapan. Saat itu, hidup saya benar-benar sedang dalam
perjalanan menuju kehancuran. Saya masih juga sebagai anak muda yang belum
menemukan jati diri, terjebak dalam arus minuman keras dan kemalasan yang akut.
Saya tak punya rencana untuk hari-hari depan. Monika datang sebagai malaikat
dalam hidup saya dan malaikat rasanya tak pantas berada di sisi lelaki pemabuk.
Kesadaran itulah yang membuat saya banyak berubah.
berkesan. Tiap hari kami selalu mampir ke taman kota, duduk di bangku hitam
berkilau yang berhadapan dengan Jalan Sudirman. Kami membeli segelas kopi panas
untuk kami berdua. Kami bercerita banyak hal, membaca banyak buku, mendengar
banyak lagu di sana, sekali-sekali mengerjakan tugas di sana atau kadang jika
kami bosan, kami akan menghitung mobil yang lalu lalang di jalan. Singkatnya,
kami pacaran selama tiga tahun. Setelah itu, ia pergi meninggalkan saya untuk
selamanya dalam sebuah kecelakaan di Jalan Sudirman.
pelan. “Turut berduka cita,” ucapnya.
ketika kembali, kabar pemakamannya sampai ke telinga saya. Saya tak melihat
wajahnya untuk terakhir kalinya.”
memukul-mukul tembok ruangan. Ia membiarkan saya sampai benar-benar tenang.
seperti ini?” tanya saya.
mengatakannya, jujur saja, anda menyerang dua teman kos anda dengan pisau
dengan tuduhan yang tak beralasan; membunuh Monika,” ucapnya tiba-tiba,
mengagetkan.
punya rasa empati sedikit pun. Saya berdiri dan menghardiknya.
kepala saya sendiri.”
yang terjadi pada Monika.”
punya rasa empati dan mencoba membela pembunuh?” teriak saya sambil memukul
meja. “Berapa yang anda dapat dari mereka?”
menangkap saya. Perempuan perawat itu menyuntikkan sesuatu ke lengan saya. Tubuh
saya mendadak lemas dan rasa kantuk menyerang. Saya tak sadarkan diri.
barangkali juga disengaja. Sebuah map hijau di atas meja berisi deskripsi yang
mengagetkan dan tak bisa saya terima tentang saya. Saya didiagnosis mengidap
depresi berat karena tak kuat menghadapi kenyataan hidup dan sering diserang
halusinasi terhadap kekasih saya yang sudah meninggal. Saya memiliki hubungan
yang buruk dengan orangtua, ibu kos, dan teman-teman di sekitar saya hingga
peristiwa penyerangan terhadap Bob dan Andre. Penjelasan terhadap setiap poin
masih panjang. Saya tak kuasa membacanya. Saya tak dapat menerima semua itu. Amarah
saya bangkit. Saya meraung, berteriak keras, membanting kursi, dan
merobek-robek map merah itu. Empat petugas berbadan kekar datang menangkap saya dan
perempuan perawat itu menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi lems dan
rasa kantuk menyerang.
bertahun-tahun, saya telah berusaha agar dapat bertahan. Pada satu waktu
berhasil, tetapi di lain waktu usaha itu sia-sia. Seringkali saya terjebak oleh
peristiwa bahagia dari masa lalu yang tak disadari telah mendorong saya semakin
jauh pada labirin-labirin berliku pada masa lalu. Satu lorong saya masuki dan
skrin yang tertempel di dinding lorong menayangkan kisah menyedihkan dan
bahagia bersama Monika. Saat berusaha keluar, saya sadari telah berada di
lorong yang lain dengan wajah ayah dan ibu yang muram. Begitu seterusnya. Masa depan
tampak kabur di mata saya dan amat sulit dibayangkan. Saya seringkali menangis
sepanjang hari, berteriak-teriak kacau, memukul-mukul meja sampai petugas itu
datang menusuk jarum ke lengan saya. Badan saya jadi lemas dan rasa kantuk
menyerang. ***
berkuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.