Rahasia Dinar
ENAM hari telah berlalu sejak pemakaman ayah, namun tamu-tamu yang datang menyampaikan belasungkawa seolah tak pernah surut. Aku mengenal beberapa di antaranya, tapi lebih banyak yang tak kukenal. Lima tahun terakhir, aku memang memutuskan bekerja dan menetap di Jakarta setelah lulus dari kuliah. Hanya sesekali saja aku pulang, memenuhi kewajiban anak untuk sungkem kala Lebaran.
ACARA tahlilah tujuh hari kematian ayah telah usai semalam. Rumah ini kembali sunyi, hanya tersisa aku dan ibu. Dua orang kakak laki-lakiku beserta istri mereka sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.
“Kapan kamu pulang lagi ke Jakarta, Din?” tanya ibu padaku. Aku yang hendak mengambil segelas air di dapur pun mengurungkan langkah. Aku menoleh ke arah ibu yang sedang duduk di sofa ruang tamu,
Kudekati ibu dan duduk di sampingnya, “Entahlah, Bu.”
Ibu menatapku. “Ibu tak apa-apa di sini sendiri, Dinar. Masih ada kakak-kakakmu yang akan mengurus ibu,” ucap ibu lembut. Rumah kedua kakak lelakiku memang tak jauh dari rumah ibu, masih berada dalam satu rukun warga.
Aku terdiam, alasanku ke Jakarta lima tahun lalu bukanlah untuk mengejar karier setinggi-tingginya seperti orang-orang yang memandang Jakarta adalah tambang harta. Kepergianku untuk menghindari ayah, dan sekarang tak ada ayah lagi di rumah ini, lalu untuk apa lagi aku harus pergi ke Jakarta?
“Bu, apakah ibu mencintai Ayah?” Mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba, ibu justru tertawa.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Karena ibu seperti tak menyimpan kesedihan ketika Ayah meninggal.”
Mata ibu menerawang, menatap satu titik di udara, “Seperti yang sering kau dengar dari orang-orang. Ayahmu orang baik, Ayahmu juga meninggal dalam keadaan baik, tak ada sakit, luka, dan tak menyusahkan orang lain. Bahkan ia sendiripun tak sadar jika tidurnya malam itu adalah tidur terakhirnya di dunia ini. Tak ada yang perlu disedihkan.”
“Sebegitu sempurnakah Ayah di mata Ibu?” Ibu hanya tersenyum dan tak menjawab pertanyaanku, kami terdiam dan berenang dalam pikiran kami masing-masing hingga sebuah salam dan ketuka di pintu membawa kami kembali ke alam nyata.
Seorang perempuan berdiri di ambang pintu, dalam dekapannya seorang anak laki-laki tertidur pulas.
Ibu memandangku dengan tatapan. “Kamu kenal perempuan itu?”
“Dia Ratna, Bu. Ayah dulu membiayai kuliahnya di sebuah akademi kebidanan di Jakarta,” jawabku seraya menyimpan pertanyaan di kepala tentang Ratnayang datang tiba-tiba.
Ibu mengangguk mafhum, seolah aku baru saja mengatakan jika ayah baru saja membelikan permen untuk anak tetangga, kebaikan ayah memang sudah dipahami banyak orang hingga tak perlu dipertanyakan lagi.
Ibu mempersilakan Ratna untuk duduk di sofa ruang tamu dan mereka pun terlibat dalam perbincangan yang cukup akrab, sedang anaknya yang berusia sekitar empat tahun itu tertidur pulas di sofa dengan kepala bersandar di pangkuan ibunya.
Seperti halnya tamu-tamu sebelumnya, ibu dan Ratna lebih banyak berbincang tentang kebaikan ayah. Namun, kali ini aku enggan mendengarkan perbincangan tentang ayah, aku lebih memilih untuk duduk diam di samping ibu. Sesekali kudengar isak tangis Ratna ketika mengenang kebaikan ayah, tapi aku tetap enggan untuk menanggapi.
Dalam pikiranku, ada kecemasan dan pikiran buruk yang terus menggumpal sejak kedatangan Ratna satu jam lalu, seolah ia adalah residivis yang patut diwaspadai. Mataku terus mengawasinya tajam, hingga membuatnya sedikit kikuk. Aku mencoba menerka maksud kedatangan Ratna ke rumah ini, sekadar berbelasungkawa, ataukah ada maksud terselubung lainnya?
Setelah hampir satu jam berbincang dengan ibu, Ratna pamit pulang, anaknya yang telah terjaga pun digandeng tangannya di sisi kirinya. Aku lega karena kedatangan Ratna hanyalah untuk menyampaikan rasa duka semata. Aku dan ibu mengantar Ratna dan anaknya hingga ambang pintu, menatap mereka yang berjalan menjauh dan semakin jauh tanpa menoleh lagi.
“Ayah adalah lelaki sempurna, Dinar.” Kami masih berdiri di ambang pintu ketika ibu mengucapkan kalimat itu, sebuah jawaban atas pertanyaanku tadi.
Aku mengangguk, ibu telah mengakui kesempurnaan ayah sebagai suami dan ayah bagi anak-anaknya. Tak mungkin aku merusak kesempurnaan ayah di mata ibu dengan mengatakan jika perempuan yang baru saja pergi adalah sumber kebencianku pada ayah.
Entah sampai kapan aku mampu menyimpan rahasia bahwa Ratna adalah perempuan simpanan ayah, dan anak yang sejak tadi didekapnya adalah adik tiriku, hasil hubungan gelap ayah dan Ratna.
Ayah memang lelaki sempurna, bahkan ia pun pergi dengan membawa kesempurnaan dunia pada ibu dan orang-orang yang selalu memujanya. Aku harus rela menanggung rahasia besar yang ayah wariskan, rahasia yang kini menjadi milikku, rahasia seorang Dina. []
[1] Disalin dari karya Richa Miskiyya
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 12 April 2015