Sang Tumbal
“Lettu Sardiman, menyerahlah! Keluar dengan tangan di atas pundak!” sebuah suara dari toa menggema di telinganya.
“Kapten! Itu kan suara kapten!” Sardiman menelan ludah. Wajahnya yang penuh bopeng menjadi pucat seperti mayit. Ia kenal betul dengan suara Kapten Waskito, atasannya di kodim. Perlahan Sardiman mulai mengumpulkan keberanian untuk segera keluar rumah–sambil meyakinkan diri, ada sebuah kekeliruan yang dilakukan atasannya. Namun, ketakutan itu masih menggelayut manja di ulu hatinya. Ia mengintip untuk memastikan bahwa suara tadi adalah benar suara sang kapten.
Dorrr! Dorrr! Dorrr!
![]() |
“Hero Under Mind” karya Rizky Zakaria |
Tiga kali suara pistol menyalak tak jauh dari samping rumahnya. Tubuh Sardiman bergetar hebat. Keberaniannya menciut ke batas terendah. Perlahan ia bangkit dan segera berlari ke arah dapur.
“Tin… Tin…,” panggilnya pelan. Tak ada jawaban. Ia memanggil dengan suara yang lebih keras, semakin keras, hingga akhirnya ia menangis dan mulai meraung-raung.
Di luar rumahnya kini telah ramai bagai di pasar malam. Selain sekompi pasukan tadi, ada pula sekitar delapan puluh penduduk sipil–bersarung, berkopiah, bercelana kolor, bahkan ada yang hanya mengenakan celana dalam–sedang berjongkok seperti barisan sapi yang hendak disembelih.
Dua prajurit mengapit tubuh Sardiman yang berjalan sambil terpincang-pincang menuju halaman. Lima prajurit lain mulai mengamuk dan membongkar semua laci, kotak kardus, bahwa meja, tempat tidur, hingga ke lubang tikus yang ada di dalam rumah.
“Dapat, Kep! Senjata buatan Tiongkok! Tergeletak di dapur! Jelas Lettu Sudirman adalah prajurit merah!” lapor seorang prajurit sambil menunjukkan senapa tjung yang tadi ditimang-timang oleh Sardiman. Kapten itu terbelalak, bola matanya seakan hendak loncat dari sangkarnya. Namun, ia paksakan untuk tetap tersenyum; senyuman yang… kaku.
Ragu-ragu ia hendak bicara. Lagaknya malah terlihat seperti kucing yang ketahuan mengambil makanan yang sebenarnya memang jatahnya.Sementara itu, sepasang mata merah mengawasi tingkah laku ganjil sang kapten. Mata itu tak mau melepaskan tatapan marahnya. Mata yang marah-merah itu.
NAMANYA Sardiman, lebih lengkapnya, Lettu Sardiman. Kemarin siang, pahanya ditembus peluru panas dan sekarang ia mengendap-endap di lantai dingin RTM Jalan Gandhi.
Pikirannya kalut. Segala macam pertanyaan menggempur relung otaknya. Dengan susah payah, ia menggoreskan sebuah nama di dinding sel dengan sendok penyok, “WASKITO KE…”. Ia hendak melanjutkan sebelum kukunya patah karena emosi yang merambat dahsyat.
“Bajingan itu! Akan tiba saatnya senapan tjung pemberiannya itu kembali kepdanya bersama peluru-pelurunya!”
Sardiman terus merutuk di hadapan seekor tikus dan beberapa ekor kecoak yang melenggang tak peduli di sekitarnya. Hantu-hantu yang berkeliaran di dalam sel sampai tak tega untuk menertawakannya.
Tiba-tiba, ia terisak. Wajah istri dan anak-anaknya datang dan meratap di hadapannya.
“Kalau saja mereka tak aku suruh lari, tak perlu mereka ditembak mati. Aku yang bodoh! Aku yang bajingan! Kalau saja aku tak ulang tahun, tak perlu mereka pulang ke rumah! Kalau saja… kalau saja…” dan segala macam “kalau” yang lain mengantre untuk ikut meramaikan ruangan di dalam kepalanya.
Tubuhnya melesak tak bertenaga ke lantai yang semakin dingin. Ia mulai menciumi lantai seakan-akan ada wajah istrinya terukir di sana.
Sementara itu, pintu sel berderit, tanda baru saja terbuka. Seorang pria buntal bermata sipit berjalan pelan menembus kegelapan menuju Sardiman. Lantas ia berlutut tepat di samping kepala Sardiman; kepala yang sedang sibuk menjamu, tamu-tamu celaka.
“Man, tidur kau?”
Sardiman tak menjawab dengan kata. Ia menjawab dengan menggerakkan kepalanya ke arah berlawanan
“Jangan kau dendam padaku, Man. Bukan hanya karena senapan itu kau ditangkap. Aku juga punya senapan itu di rumah. Pak Mulyo juga punya di rumahnya. Itu kan oleh-oleh dari pak kolonel waktu beliau berkunjung ke Cina.”
Suara itu merayu-rayu di kuping Sardiman. Suara yang sama dengan suara yang ia dengar tadi pagi, tetapi dengan bobot yang berbeda.
“Aku janji akan menghukum prajurit yang menembak istri dan anak-anakmu. Aku janji, Man!” lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sardiman.
“Man, bangun kau! Ini perintah!” Si pemilik suara meninggikan intonasinya karena mulai merasa bosan mendengar bujukannya sendiri.
“Ingat-ingatlah saat kau dengan bangga bercerita pada bawahanmu bagaimana kau menghadiri ulang tahun PKI di Jakarta, Mei kemari. Ingat kau? Pak Mulyo juga mendengarnya. Aku tahu, kau hanya datang karena kebetulan sedang di Jakarta. Aku tahu, Man! Tapi, itu pula masalanya. Siapa pun yang turut hadir di sana telah dimasukkan ke dalam daftar ‘prajurit merah’ oleh intel Kostrad. Aku tak bisa menolongmu …” Waskito cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Tapi paling tidak, aku bisa membuatmu mati secara patriotik, bukan sebagai komunis pemberontak. Ingat kau sumpah prajurit, Man?”
Melihat tak juga ada respons, si buntal berdiri dan berjalan keluar meninggalkan Sardiman bersama kejengkelannya yang hampir meletup.
Sardiman tak mau peduli. Dengan pikiran yang diaduk-aduk begini rupa, ia tak sanggup menghubungkan apa yang dikatakan suara itu dengan apa yang menimpanya sekarang. Sardiman mengintip dari balik bahunya. Ia menangis kembali, terisak kembali. Sungguh benar-benar memalukan kondisinya saat ini. Terlintas di kepalanya bagaimana kiranya keadaannya saat ini dipertontonkan kepada masyarakat di sekitar rumah yang dulu sering ia suruh-suruh sekehendak hatinya, ia klakson bila menutupi jalan mobilnya, ia hardik hanya untuk menunjukkan kepangkatannya, dan segala macam kebatilan lainnya. Kembali ia menangis. Kembali ia terisak menyadari dirinya yang sudah tak beda jauh dengan seekor macan ompong, tua pula.
NAMANYA Sardiman, tetapi kini tanpa embel-embel lettu lagi. Hanya Sardiman. Kemarin, ia genap berusia 34 tahun. Namun, kini tanpa istri, tanpa anak-anak, dan tanpa tanda kepangkatan. Di tengah malam buta, mendekati perayaan tahun baru 1966, ia berjalan mendekati serombongan regu tembak dengan kegagahan terakhirnya; kegagahan yang ia dapatkan dari Kapten Waskito. Ia bediri dengan tegap, khas militer, lalu berbisik pelan: “Aku mati dan menjadi tumbal demi lahirnya negeri yang baru, orde yang baru, orde yang lebih baik. Semoga!” **