Nama untuk Ayah
Akan tetapi, itu hanya angan-angan yang muncul ketika berjumpa dengan ayah, kemudian tenggelam sendiri ketika matahari yang hampir kuning di timur mengusir ayah selama berbulan-bulan bahkan tahunan. Aku tidak tahu, apa cita-citaku itu akan bangkit di menit-menit setelah nanti kulihat kembali wajah ayahku. Sebab dari kelas IV sampai kelas V, ayah sudah tak pernah lagi menginjak rumah. Sekarang aku kelas VI.
“Duduklah,” kata ibu, “sebentar lagi Ayah datang,” lalu ibu memesan sarapan.
Sambil terus mengawasi ibu yang kulihat pergi ke kamar kecil sebelum makanan selesai disajikan, tiba-tiba ada yang meninju lenganku.
“Apa kabar?” tanya pria yang di pipi sampai dagunya tumbuh ijuk-ijuk kasar agak keriting. Di kepalanya ada sehelai kain buruk. Tubuhnya juga dilindungi jaket tebal dan bau. Ia sangat berantakan dan horor.
“Apa kabar, Armand?”
Berupaya mengisutkan badan sambil meremasi celana merahku, kupandangi kamar mandi yang belum juga memunculkan ibu. Ibu pernah menasihatiku supaya menyingkir dari godaan orang tak dikenal. Tapi, tadi ibu menyuruhku agar tidak ke mana-mana.
Ketika tertunduk melawan tubuh gemetaran, dan aku tahu lelaki di hadapanku menyadarinya, pelan-pelan pria yang lebih mirip setan itu melepaskan sebagian rambut di wajahnya.
“Sudah lama, Mas?” tanya ibu yang sudah berada di belakangku.
Apa kau ayah?
“Kau sungguh Ayahku?” tanyaku ragu-ragu, tapi malah meledakkan perasaan ke pelukan yang kadang ada dan tiada itu.
“Kau sudah sangat tampan, Armand.”
“Dan Ayah sudah sangat seram. Seperti penjahat.”
“Dulu,” kataku sambil membuka tas, lalu mengambil foto keluarga, “Ayah ganteng sekali. Rambutnya tidak sepreman ini.”
“Sekarang, Ayah bekerja lebih keras.”
“Memangnya apa pekerjaan Ayah?”
“Um…”
“Ayah teman-temanku juga bekerja sangat keras. Sering pulang malam, kadang ke luar kota, bahkan ada yang ke luar negeri. Mereka sangat rapi. Pakai dasi, dan baju warna putih. Memangnya, apa pekerjaan Ayah?”
“Membela kebenaran.”
“Membela kebenaran? Tapi sepatu Ayah kok jelek sekali? Di TV, pembela negara bajunya loreng-loreng. Sepatunya lars.”
“Pembela kebenaran menurut ajaran agama.”
“Aneh. Memangnya berapa gaji membela kebenaran menurut agama?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada? Untuk apa bekerja kalau tidak mendapat gaji? Asal Ayah tahu saja, hanya aku yang tak punya uang saku di sekolah. Kawan-kawanku, uang jajannya, kalau tidak 20 ribu, 50 ribu juga ada. Mereka sering membayariku.”
“Sudah, sudah, habiskan makananmu,” ibu langsung menghentikan pembicaraan kami. Kulihat adikku merengek dalam dekapan ibu. Ayah menggendongnya sebentar, lalu menyerahkannya kembali ke tangan ibu. Kemudian ayah menumpahkan seluruh kopi hitam ke liang mulutnya. Setelah itu ayah menyerahkan uang dalam keadaan digulung-gulung. Aku tahu perjumpaan dengan ayah akan segera berakhir. Yang tidak aku tahu adalah apakah kami akan berjumpa lagi atau tidak.
“Ayah, guru dan teman-temanku sering menanyaimu. Hari ini, hari pertama memulai kelas baru. Apa Ayah akan ikut denganku? Sekali ini saja, Ayah, ayolah.”
“Maafkan Ayah, Armand. Waktunya hampir tiba. Ayah pergi sekarang.”
“Tapi di luar, basah, Ayah.”
Ayah diam saja. Ia mencium ibu, pipi adikku, dan hanya meremas bahuku. Dari garis bagian bawah mata ibu, kudapati sungai seperti jalanan yang digenangi hujan gerimis bercampur angin.
Air dingin beterbangan di kepala serta jaket hitam ayah. Yang kutahu jaket itu tidak mampu melindungi ayahku. Ayah mulai jauh dariku. Tubuhnya kian samar dalam terpaan hujan yang makin deras. Aku mendesak pemilik warung supaya meminjamkan payung. Awalnya ia tak mau. Namun karena aku menangis hingga menarik-narik ujung tangannya, ia luluh akhirnya.
“Ayah!” aku mengejar ayah, “payung, Ayah, payung!”
Tapi ayah tak menggubrisku. Ia tuli pada seruan anak sulung yang teramat menyayanginya.
“Ayah! Apa kau sayang kepadaku? Apa kau sayang pada kami?”
Aku tergelincir di tanah licin, dan saat aku hendak berdiri, yang tampak di mataku hanyalah hutan dipenuhi daundaun melambai. Jantungku berdenyut sakit. Sakit sekali. Saat itulah aku sadar kalau ayah sungguh tak sayang kepada kami.
Kami bertiga tiba di sekolah. Aku masuk ke lapangan dan mengikuti upacara bendera. Ibu dan adik perempuanku menunggu di kantin sambil menonton. Ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa semangat, dari jauh kuperhatikan langkah ibu yang mondar-mandir. Kadang ia menatap ke arahku, kadang ke arah TV. Aku cemas dan tak konsentrasi di barisan.
Sesaat kemudian, sewaktu pelajaran belum dimulai, ibu mendatangiku dengan wajah pucat. Tanganku ditarik. Aku diajak pulang tanpa memberitahu wali kelas. Melihat ibuku yang tampak tidak biasa, apapun ceritanya, aku menurut saja.
Sesampai di rumah, ibu mengunci semua pintu, jendela, mematikan ponsel, dan mematikan TV. Setelah itu, ibu langsung berwudu, dan kudengar ia menjerit-jerit sambil mendekap Alquran. Lalu ibu berlari ke arahku, menciumiku, dan memelukku erat-erat.
“Apa yang terjadi, Bu?”
Meski sudah malam, ibu belum juga menjawabku. Kegiatan kami hanya diam, tidak berselera makan, tak dapat tidur, dan lebih banyak berdoa. Kami mengurung diri selama dua hari. Pada hari ketiga, kami dilanda kengerian yang mendalam. Ada yang menggedor-gedor di pintu. Orang-orang berseragam menggeledah isi rumah. Barang-barang milik kami, tidak boleh kami sentuh. Mereka sangat cerewet kepada ibuku. Bertanya ini dan itu. Padahal ibu belum sempat makan walau sesendok nasi, kecuali hanya mencicip kuah sayur yang masih mendidih di atas kompor. Lalu ibuku dibawa. Sementara dariku dan dari adikku, orang-orang itu meminta air liur dan beberapa helai rambut.
Setelah orang-orang jahat itu pergi, aku menyalakan TV. Ada nama yang mirip dengan nama ayahku. Susanto alias Tanto alias Sukarjo. Aku sendiri lupa yang mana nama ayahku. Katanya, orang itu meledakkan tubuhnya sendiri di dekat pos polisi. Tapi aku tak percaya. Ayahku pembela kebenaran. Ia bekerja untuk Tuhan. Ia bahkan rela tidak digaji. Apa yang lebih mulia dari itu?
Sebab tak mau ayahku dicap macammacam, aku mencocokkan gambar yang diperkirakan itu ke gambar ayah yang selalu kusimpan di dalam tas. Sama sekali tidak mirip. Sungguh kejam orang-orang yang tega menyusahkan ibuku.
Ketika kubayangkan air mata ibu, dan tak sengaja menekan tombol yang membuat rasa nyeri di dahiku, tiba-tiba aku ingat pria yang tiga pagi lalu pergi menembus hujan dengan jaket tebal yang sangat bau.
Terus berkarya Mbak Jeli Manalu..