Tiga Buah Topi Baja
Mbah Kasman tersenyum. Pendengarannya memang masih bagus meski umurnya sudah lebih dari 80 tahun. Pada zaman penjajahan Jepang ia sudah ikut berlatih untuk jadi heiho. Setelah proklamasi ia masuk jadi tentara. Waktu aksi polisionil Belanda ia sudah berperang. Sampai semua tentara Belanda harus ditarik dari Yogyakarta. Tapi ketika terjadi rasionalisasi di tubuh angkatan bersenjata, dirinya ikut diberhentikan. Lalu hidup jadi kuli angkut di stasiun Tugu. Untung ada temannya yang mengusulkan untuk diangkat jadi anggota veteran dan diterima.
”Tidak dimarahi komandanmu Mbah?”
Mbah Kasman tertawa kecil. ”Komandan takut sama saya. Karena tahu kalau saya kebal peluru. Bagaimana mungkin dia memarahi saya.”
”Arwah mereka tidak pernah mendatangi Mbah Kasman?”
”Pernah sekali. Saya tidak takut. Malah saya umpat-umpat. Eee… lha kok yang takut malah arwahnya, hahaha.” Mbah Kasman lalu mengangkat topi baja ketiga. ”Yang ini tidak gampang mendapatkannya. Saya duel satu lawan satu dengan tentara Belanda. Kami sama-sama kehabisan peluru.”
”Di mana Mbah?”
”Di Ambarawa.”
”Mbah Kasman ikut perang ke sana?” Laki-laki itu mengangguk. ”Kami dari Yogya mungkin dua kompi. Lalu pasukan di Magelang bergabung. Sepanjang jalan para pemuda setempat pada ikut. Senjatanya apa saja. Pedang, keris, bambu runcing bahkan ada yang cuma tangan kosong.”
”Hebat!” pujiku.
”Ambarawa dikepung dari segala penjuru. Tetapi Belanda segera mendatangkan pasukan dari Semarang. Nah, waktu itu saya nekat mau menempak tentara Belanda dari jarak dekat. Eeee, peluru sudah habis. Begitu juga waktu tentara Belanda itu mau nembak saya, pelurunya sudah habis. Lalu kami duel satu lawan satu. Saya yang menang. Leher tentara Belanda itu patah setelah saya gebuk dengan popor bedil. Topi bajanya lalu saya ambil.”
”Hemm. Luar biasa.”
Mbah Kasman lalu menatapku. Sorot mata tuanya tidak menyiratkan rasa bangga. Justru tampak sayu. ”Mas Sam bisa menolong saya?”
”Menolong apa Mbah? Kalau duit aku tidak punya.”
Mbah Kasman menggeleng. ”Dua cucu saya mau masuk SMA. Satunya lagi mau masuk tentara. Mereka butuh biaya. Orangtuanya tidak mampu.”
”Lalu?”
”Kalau bisa tolong jualkan tiga topi baja ini. Katanya bisa laku mahal karena dianggap barang antik. Apalagi ini saya dapatkan dengan menyabung nyawa.”
”Waduh, tidak mudah Mbah menjual topi baja ini. Bagaimana kalau diberikan museum perjuangan saja?”
”Saya butuh duit. Sekarang masuk sekolah mahal. Jadi tentara juga harus bayar. Padahal saya dulu tinggal bergabung saja dan maju perang.”
”Hmm,” aku memutar otak. Mau tidak mau harus mencari kolektor barangbarang antik dan bersejarah. Hanya mereka yang mau membeli.
”Bagaimana Mas? Bisa menolong saya?”
”Kuusahakan Mbah. Tapi tidak bisa segera. Aku harus mencari pembeli yang mau menghargai barang-barang antik.”
”Ya, ya. Bawa saja tiga topi baja ini. Mudah-muahan membawa berkah.”
Tiga topi baja kubawa pulang. Aku harus membawa ke Surabaya. Di kota Pahlawan itu ada kolektor yang khusus menyimpan benda-benda yang ada kaitannya dengan dunia militer. Tiga topi baja kuletakkan di atas almari dekat tempat tidur. Pada malam ketiga setelah tiga topi baja itu di rumahku, pada subuh dini hari aku terbangun dan menjerit-jerit ketakutan.
Malam itu aku mimpi seperti berada di medan perang. Sendiri tanpa senjata, di tengah kota yang baru saja dibumihanguskan. Tiba-tiba ada tentara musuh yang mau membunuhku dengan ujung bayonet. Aku berlari di antara reruntuhan bangunan. Tiba di alun-alun aku lihat dua tentara Belanda sedang menghajar Mbah Kasman habis-habisan. Akhirnya dua tentara itu menembak mati Mbah Kasman. Melihat aku berdiri, mereka berdua lalu mengarahkan moncong bedil ke arahku. Aku lari sambil menjerit-jerit ketakutan. Apa lagi di ujung alun-alun seorang tentara sudah siap menyambutku dengan bayonet terhunus.
Aku terbangun dengan napas terengahengah. Keringat dingin membasahi tengkuk dan tubuh bagian belakang. Tiga topi baja itu tidak cocok ada di rumahku. Mungkin saja pemiliknya mau menuntut balas. Serem!
Esoknya tiga topi baja itu segera kubawa ke rumah Mbah Kasman. Aku tidak sanggup menjualkannya. Menakutkan! Topi baja ini tidak membawa berkah.
Tetapi ketika aku sampai di rumahnya tampak para tetangga sudah berkumpul di situ. ”Ada apa?” tanyaku kaget. ”Mbah Kasman meninggal dunia,” jawab seorang tetangga.
”Kapan?”
”Mungkin subuh tadi. Jenazahnya sudah kaku.”
Aku melongo. Para tetangga terheran-heran melihatku membawa tiga topi baja.❑-c