Pintu Hijau (6)
Saat berkata itu, ia membuka jendela di samping kanan pintu. Gordennya yang berwarna hijau masih dalam keadaan menutup. Angin dari luar masuk ke dalam kamar.
Aku tetap diam. Tak tahu apa yang harus kukatakan untuk menanggapi perkataan Malina. Lalu Malina melanjutkan bicaranya.
“Bawalah bungkus sabun itu, Bung. Barangkali kamu berminat menyimpannya. Kalau tidak juga tidak masalah. Buang saja.”
Aku masih diam. Hanya menganggukkan kepala. Aku berdiri dan berjalan mengambil bungkus sabun itu dan segera mengantongkannya.
“Aku akan menyimpannya.” Akhirnya aku angkat bicara.
“Terima kasih, Bung. Kamu membuatku senang hari ini,” kata Malina dan tersenyum padaku.
“Tapi sebaiknya kamu pulang. Kembalilah ke sini malam hari saja,” lanjutnya dan aku lagi-lagi mengangguk.
Aku mengikuti apa yang dikatakan Malina. Aku beranjak dari kamar Malina dan buru-buru keluar. Sampai di luar yang saat itu aku taksir sekitar jam satu lewat, ternyata mendadak gerimmis jatuh dan aku tembus saja setengah berlari. Namun Malina mengejarku dan memintaku kembali. Aku kembali.
AKU kembali menemui Malina malam esoknya. Saat itu kami menghabiskan separuh malam tanpa emlakukan rutinitas yang biasa dilakukan di tempat itu. Malina banyak berbicara dan untuk pertama kalinya. Malina mengatakan kepadaku bahwa dirinya mulai tak betah di tempat itu.
“Aku ingin pulang dan berharap bisa hidup di rumah bersama orangtuaku,” kata Malina.
“Mengapa kamu tidak pulang saja, Mal?” Aku bertanya.
Sambil berbicara Malina menyingkap ujung gorden hijau dan melihat keluar. Hujan rintik-rintik di luar dan berbunyi gemeretak di genteng. Cukup keras.
“Untunglah hujan.”
“Kenapa kalau tidak hujan?”
“Pembicaraan ini tidak boleh didengar siapapun,” kata Malina tegas namun terdengar berat.
Dari suaranya aku tahu Malina menyimpan harapan segera pergi dari tempat ini.
“Aku bisa mengantarmu pulang. Kapanpun,” kataku.
Aku mengatakan ini sekenanya. Lebih tampak hanya sekadar menghibur Malina.
“Tidka smeudah itu, Bang,” tanggap Malina
Ia duduk gelisah di ranjangnya. Kami duduk menghadap sama, ke arah barat. Malina duduk bertimpu dan aku melepaskan kaki menggantung di ranjang yang cukup tinggi itu.
“Tapi sudahlah. Lupakan saja, Bang,” tambahnya. “Mari berbicara hal lain.”
Malina terdiam dan menunduk. Ada aura kecemasana ku tangkap dari raut wajahnya yang kuning tipis. Matanya yang tajam tidak berkilau. Dari cahaya lentera yang menempel di dinding kamar di pinggir cermin meja rias, dengan sedikit cahayanya, aku bisa menangkap ekspresi aneh dari wajah malina. Seperti memancarkan kekhawatiran dan ketakutan.
“Aku minta maaf telah membawamu ke sini,” kata Malina. “Tak seharusnya aku mengajakmu, Bang.”
“Tidak masalah, Mal. Justru ini baik untukku bisa kenal denganmu,” kataku sekenanya.
Dalam waktu ini sama sekali aku tidak merasakan perasaan menyesal sedikit pun.
“Mudah-mudahan kamu setia dengan yang kamu ucapkan.” Begitu Malina menanggapi yang kukatakan.
Lalu ia berdiri dan ekluar menembus rintik gerimis. Aku tak berusaha mencegatnya. Meskipun, tentu, aku ingin mencegatnya. Atau setidaknya aku ingin tahu ia mau ke mana malam-malam dalam gerimis yang dingin.
Aku ditinggal sendirian di kamarnya dan kesempatan ini kupakai untuk melihat-lihat isi kamar Malina. Kamar ini cukup luas untuk ukuran kamar yang cukup banyak berdempetan. Aku mengira-ngira, lebih empat meter panjang dan lebarnya. Dari cahaya lentera minyak di dinding samping cermin rias, yang cahayanya memenuhi seluruh ruangan kamar, aku dapat melihat dengan cukup jelas bagaimana Malina memerlakukan kamarnya.
Ranjangnya yang berkasur empuk membujur panjang arah utara dan di sebelah kiri ujung ranjang meja rias cermin memepet di dinding. Di meja itu, lazimnya perempuan seperti Malina, yang kuketahui dari film layar tancap yang pernah kulihat sebelumnya di kampungku, terdapat banyak alat-alat memercantik diri.
Di sana, di meja itu, terdapat empat sisir dengan ukuran dan bentuk berbeda; ada cermin kecil yang kuduga dipakai Malina untuk mengacai punggung atau lehernya dan juga rambut belakangnya. Bedak pemutih, minyak rambut, pemerah bibir, dan wewangian tubuh entah apa merknya. Dan di dalam gelas yang agak ke pinggir kanan meja berisi sejumlah alat yang antara lain berupa pinset, yang mungkin digunakan Malina mencabut bulu tertentu di tubuhnya. Juga ada tiga bolpoin hitam. Dan di meja itu juga ada satu buku tulis. Tentu itu buku catatan.
Di dinding barat kamar terdapat elmari pakaian. Di sebelah kanan lemari agak tinggi, terdapat tempat menggantung pakaian. Di pintu lemari pakaian yang terbuka, aku terkejut dan sempat mengerutkan dahi karena heran melihat yang ada di pintu lemari, terdapat sajadah dan mukena. Sekilas aku bisa melihat sajadah dan mukena itu baru saja digunakan. ❑ (bersambung)-c