Sepotong Roti
SIAPA bilang miskin itu enak? Cukup! aku sudah lelah menapaki jalan menjijikkan ini. Aroma lumpur, dan semua hal kotor ini cukup membuat kulitku alergi. Kudorong pintu reyot yang menjadi jalan masuk rumahku. Sebab rasa lapar kian menghantui perutku, kubuka tudung saji lusuh dengan harapan yang akan kulihat adalah makanan lain, bukan tempe goreng seperti biasanya.
Di depan sebuah restoran, duduk seorang gadis kecil. Tampilannya dekil, sorot matanya menatap lurus ke arah diriku. Wajah pucat dengan ekspresi menahan lapar itu berhasil mengetuk hatiku untuk berhenti sejenak dan berbicara padanya.
Aku membungkukkan badanku. “Dik, kamu udah makan belum?” tanyaku pelan. “Belum, Kak.” jawabnya dengan suara lemah. “Mau roti?” aku menawarinya sebuah roti yang berada di tanganku.
Ia pun mengangguk. Tersenyum, dicuilnya seperempat bagian roti yang aku berikan tadi. Kuamati caranya memakan roti itu dengan lahap.
Namun aku heran, mengapa ia tidak memakan semua rotinya? “Lho Dik, rotinya gak enak, ya?” tanyaku penasaran. Anak itu tersenyum sambil mengangguk kecil, “Rotinya enak Kak, terima kasih ya,” jawabnya.
“Terus kenapa gak dihabisin semuanya?” aku betanya lagi.
“Sisa roti ini tinggal tiga perempat bagian.” Anak itu menjawab. “Seperempat bagiannya akan aku kasih ke ibu sebagai jatahnya makan hari ini, sedangkan setengahnya lagi mau aku kasih ke ibu juga. Tapi, bukan sebagai jatah makan melainkan sebagai hadiah ulang tahunnya hari ini. Jadi ibu berhak dapat tiga perempat bagian roti ini,” lanjut dia, dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
Penjelasan gadis ini sontak membuat jiwaku gemetar. Kembali aku mengingat sosok ibu yang sudah kutinggalkan sejak beberapa tahun silam. Jika gadis sekecil ini saja sangat menyayangi ibunya, lalu mengapa gadis dewasa sepertiku malah meninggalkan ibunya sendiri?
Aku menyesal pernah membencinya. Dengan suara serak menahan tangis, aku mengelus kepala anak itu, “Oh, kalau gitu kakak ngucapin selamat ulang tahun ya buat ibu kamu. Ini hadiah dari kaka.” Aku melepas benda yang melingkar di tangan kiriku. Sebuah arloji senilai 2 juta yang baru aku beli minggu lalu. Kutinggalkan gadis itu dan berjalan ke arah mobil. Nafsu makanku hilang, aku ingin mencari ibuku.
Sambil melambaikan tanga, tetes demi tetes air mata terus mengaliri pipiku. Hatiku sesak oleh rindu. “Aku ingin pulang…,” ucapku lirih pada gadis kecil tadi.
Aku bukan ingin pulang ke rumah mewahku. Tapi aku ingin pulang ke rumahku yang sebenarnya.
Jajaran bangunan nampak berbeda dari terakhir kali aku melihatnya. Namun semua itu tak akan mengecoh dan membuatku lupa di mana tempat asalku. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, tibalah aku di depan pintu rumah reyot berdinding kayu yang hampir ambruk.
Jantungku berdegup kencang, aku tak peduli apapun yang dikatakan ibu nanti, aku sudah siap menerima semuanya. Dengan sedikit ragu, kuketuk pintu rumah perlahan. “Tok… tok… tok…”
Tak ada jawaban. Aku tak ingin menyerah, kupanggil ibuku. “Ibu… Ibu… Inni aku, Ria. Aku sudah pulang, Bu… Maafkan aku…” Aku berteriak berkali-kali. Namun masih tak ada jawaban.
Sampai seorang wanita menghampiriku. Ia menatap tajam ke arahku, “Kamu anaknya ibu yang tinggal di sini?” “Iya,” jawabku dengan suara yang lirih. Aku menatap penuh harap pada orang itu. Berharap mendapatkan petunjuk lain yang bisa membawaku pada ibuku.
Namun yang aku dengar malah sebaliknya. “Wanita itu sudah meninggal satu bulan yang lalu,” ujarnya.
Nafasku tercekat, jantungku seakan berhenti berdetak, lututku melemas ketika mendengar kalimat itu.
“Ada pesan terakhir darinya sebelum ia meninggal,” lanjutnya. “Katanya, jika suatu hari kau kembali, ia ingin kau melihat isi laci meja di kamarnya.”
Tanpa pikir panjang, aku membuka pintu rumah yang tertutup tadi. Pintu itu tidak dikunci. Akupun bergegas menuju kamar ibuku, menuju ke arah sebuah laci yang terletak di sudut ruangan.
Segera kubuka laci itu dan menemukan secarik kertas lusuh yang terlipat rapi di dalamnya. Kupandangi sejenak setiap goresan hitam yang tertoreh di atasnya. Rangkaian kata dari tetesan tinta di sini menjadi jejak terakhir ibuku.
“Ibu pulang dulu ya, sampai jumpa di surga…,” begitulah isi surat dari ibu.
Meski hanya goresan pena, suara lembut ibu tetap menggema dalam telingaku kala kubaca rangkaian kata terakhirnya itu. Kupegang erat kertas lusuh yang kini basah karena tetesan penyesalan di antara jemariku.
Siapa diriku wahai Tuhan? Bolehkah aku pergi ke masa lalu? Sebentar saja! Tapi apakah mungkin aku kembali? Ah, terlambat sudah. Sekarang aku merintih menanggung malu setelah menatap jejak langkah hidupku. Dan terpaksa terus melaju dalam langkah perihku. Hingga membeku diujung waktu.***
[1] Disalin dari karya Khana Sholaita
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran Rakyat” Minggu 16 Oktober 2016