Dua Lelaki di Halte Bus
“CINTA membuat segalanya menjadi indah. Cinta pula menjadikan segalanya penuh darah. Cinta akan membunuh jiwa seseorang yang tak betah. Cinta menjadikan segalanya bagai api di atas kayu yang tak basah. Cinta membutakan mata tanpa nanah. Cinta tak lain penjara suci yang menjadikan segalanya berubah.”
“Halo, mas Aris kan?” Suara di sana seakan ragu dengan orang yang mengangkat ponselku. Padahal aku sendiri yang mengangkatnya
“Iya, ini aku dek. Ada apa sore-sore begini nelpon?” sergahku sekenanya merespon suara Atun dari seberang ponsel.
“Aku rindu mas,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar ungkapannya yang sangat terasa begitu tulus, ramah, dan indah di telingaku. Aku tak memiliki banyak kata dan ungkapan untuk menjawabnya. Di sana Atun dengan semangat kerinduan bercerita tentang dirinya. Tentang aktivitas kesehariannya. Tentang apa saja yang ia lakukan. Aku dengan sepenuh hati menyimak penuh saksama bagai dosen yang ngisi materi kuliah saja.
“Mas, mas masih ada?” Suaranya tampak keheranan dari jauh menanyakan aku yang tanpa suara sama sekali.
“Iya dek. Aku mendengarkanmu.” Aku sedikit meresponnya.
“Apa mas tak merasa rindu padaku?”
Pertanyaannya seakan mencongkel hati, perasaan, dan otakku. Aku bingung harus menjawab dari sisi mana kepadanya. Aku tak banyak paham tentang hati yang berkata dan rasa yang berbisik.
“Kalau rindu aku tak tahu seperti apa. Tapi aku selalu mengingat dirimu dek, dalam setiap kaki melangkah dan mata melihat. Aku tetap mencintaimu seperti dahulu kala.” Di sana terdengar desahan nafas kecewa karena aku tak menjawab dengan tegas.
“Mas ini sudah mulai dulu tak pernah rindu padaku,” imbuhnya kesal.
“Bukan seperti itu dek. Aku merindukanmu dengan cara yang berbeda, dengan caraku sendiri yang tak sama dengan lelaki lainnya,” tuturku penuh nasehat.
Atun terdiam. Dari nada suaranya seakan puas dengan ungkapanku. Tak lama ia pamit, menutup ponsel setelah sekitar satu jam suara langit itu melantun di kabel-kabel ponselku. Meski aku tak pernah mengungkap rasa rindu pada Atun, aku tetap mencintainya. Aku tetap bersama iringan kenangan masa lalu yang lucu tentang surat mawar berduri itu. Jarak yang memisahkanku dengan Atun tetap terasa dekat. Kadang aku berceksok dengan kata-kata hanya karena aku tak mampu mengungkap rinduku padanya. Indah rasanya menyelami kata-kata dan perasaannya yang tulus mencintaiku.
USAI ponsel ditutup, perlahan aku menyalakan laptop dengan modem pengantar ke dunia gaib modern. Aku pun berkirim surat via email pada Atun tentang ungkapan-ungkapan perasaanku serinci mungkin. Aku berusap dalam email itu tentang perasaanku yang tak mampu kuungkap dengan kata-kata dan huruf-huruf yang mudah dipahami oleh pujangga, pemuda, penyair, dan ahli bahasa. Cinta dan rasa rinduku tak akan mampu diterjemahkan sedemikian rupa dengan bahasa orang lain.
Dalam email itu pula Atun meminta maaf atas kekhilafannya beberapa tahun silam, waktu menolak tetesan rasa dari kalbuku. Sejatinya ia malu dengan perasaan dan teman-temannya jika mencintaiku. Padahal tak ada yang tahu tentang surat itu kecuali yang membawa surat itu. Aku pun memakluminya.
Atun perempuan pertama yang kukenal. Sejak tetesan itu ditolak, aku melampiaskan dan mencipratkan tetesan itu pada Emar. Emar jadi korban pelampiasan cipratan perasaan suciku. Hingga ia harus terkulai saat Atun jujur jika dia mencintaiku sejak dahulu kala. Aku memutuskan Emar dan kembali pada Atun sebagai cinta sejatiku. Aku tahu, aku menjelma sesosok malaikat pertama kali di hati Emar. Namun tak ada daya untuk memegang, hingga aku menjadi Iblis yang menakutkan baginya saat aku dengan terus terang mau kembali ke pangkuan Atun. Aku merindukanmu Atun, dengan ungkapan yang tak bisa kuterjemah dengan kata-kata dan huruf-huruf yang mati.***