Tanda Tanya dari Pelosok Desa
“KAKAK, kapankah dunia mengabari kita?”
Adik yang malang. Hampir sepuluh tahun menanyakan itu kepada kakak yang tidak tahu pada dunia yang bungkam sampai sekarang. Pertanyaannya diulang-ulang seolah adiknya tidak bisa berkata lagi selain pertanyaannya itu.
“Kak. Kapan dunia mengabari kita?”
Perhatian Reki beralih sejenak ke arah adiknya sebelum kembali ke makanan yang di tangannya. Reki menyuap mulutnya lagi.
Kadang, Reki jengkel terhadap adiknya yang selalu bertanya-tanya tentang hal yang sama. Tidak ada pertanyaan yangs ering diungkapkannya lagi, selain pertanyaan yang tak lama didengarnya tadi. Kadang sedikit berbeda, tapi intinya tetap sama. Reki tidak pernah menemukan jawaban dari pertanyaana diknya itu. Bukan tidak menyayanginya, hanya saja, memang tidak ada sedikit petunjuk tentang jawabannya.
Mereka selesai untuk urusan makanan. Dan mereka istirahat sejenak di ruang makan. Reki melihat adiknya penuh dengan lamunan. Memikirkan bagaimana pertanyaannya itu dijawab oleh kakak satu-satunya yang ia miliki. Kapankah dunia mengabari kita? Hanya itulah di dalam otak mungilnya yang belum membesar dan encer seperti otak Einstein. Bergulat pikir sendiri selama sepuluh tahun belum juga bisa mendapatkan jawaban yang tepat. Karena penglihatannya hanya berada pada rumput, semak, tumbuh-tumbuhan, gubuk, orang-orang desa, laut, hewan-hewan, dan pikirnya, tidak ada hal lain yang cukup aneh sebagai petunjuk tentang kapankah dunia mengabari kita? Kapankah?
Sepuluh tahun seharinya sudah membuatnya menjadi gila. Atau mungkin adik Reki satu-satunya itu memang sudah gila karena pertanyaan yang dilontarkannya setiap ada waktu luang bersama kakaknya. Cukup gilakah bagi seseorang untuk bertanya sesuatu yang sangat penting bagi dirinya snediri? Mungkin hal itu lebih bisa disebut sebagai hayalan yang terlalu tinggi untuk digapai dan digenggam. Tapi bukankah seseorang pun bisa berada di puncak karena dalam setiap satu langkahnya selalu diawali oelh pertanyaan-pertanyaan?
Reki memperhatikan tingkah adiknya itu yang berbaring di samping piring bekas makan tadi. Tatapannya kosong ke arah langit-langit gubuk. Tidak ada cecak dan serangga yang beterbangan di langit-langit. Tapi Reki tahu apa yang ada di mata sang adik itu: mencoba menelusuri petunjuk atas pertanyaannya. Reki mendesah sambil menundukkan kepalanya yang lelah sehabis dibakar matahari dan mencabuti rerumputan. Otot-ototnya pun sedikit lemas. Tanpa diduga, adiknya pun itu terbangun dan berkata, “aku harus pergi.”
Kepala Reki terangkat. Menatap kaget ke arah adiknya itu. Pikirnya, apa yang dipikirkan adiknya itu. Tapi pikir adiknya, kakaknya tidak bisa berpikir apa-apa. Inilah jalan terbaik mencari petunjuk untuk jawaban atas pertanyaannya selama sepuluh tahun ini: mencari keluar desa dan membuktikannya.
“Aku akan keluar desa, kakak.” Kepalanya mengarah kepada kakaknya yang masih kaget dengan dirinya. Seketika dia berdiri dan memastikan dirinya layak untuk pergi keluar desa sendirian.
“Apa pun yang terjadi, aku akan keluar desa.”
“Jangan gegabah!” ucap reki setelah lama bungkam.
“Ini jalan yang tepat, bagaimana aku bisa gegabah?”
“Jangan gegabah kataku!” Reki berdiri menantangi adiknya itu. Kepalanya yang lemas itu sekarang berdiri tegak tanpa lunglai sedikit pun. Otot-otot yang lemas kini mengeras seperti diisi daya kembali.
“Jangan gegabah.”
“Jika aku tidak bergerak, sampai kapan pun aku tidak tahu kapan waktunya dunia mengabari kita. Jika aku tidak bergerak, kakak tidak akan membuka mulut.”
“Jangan gegabah. Kamu tidak ingat ketika kakak….”
“Ketika kakak ditangkap warga untuk kembali ke desa dan melupakan impian kakak? Bukankah sebenarnya kita mempunyai impian yang sama selama ini? Kita sama-sama ingin berada di luar desa dan mengerahui apa yang terjadi. Jika sudah seperti itu, kita kembali ke desaa dan kitalah sebetulnya yang mengabari desa ini.”
Reki masih terpaku di tempatnya. Menyandarkan dirinya ke tembok dan hanya melihat ke arah lantai. Menunduk, seperti ketakutan bahwa dirinya memang salah.
“Kakak tidka akan punya keberanian untuk kedua kalinya. Jadi aku, sebagai adik, mempelajari keberanian kakak yang pertama kali. Dan karena aku tahu kakak tidak punya keberanian yang ekdua kali itu maka aku yang akan menggantikan kakak.” Suara begitu tegas dan meyakinkan. Badannya tegap tidak kalah dengan kakaknya. Pandangannya pun menyiratkan bahwa dialah, sang adik, yang akan membawa kabar untuk desa ini. Membawa kabar tentang kehidupan yang belum mereka jama.***
Keterangan
[2] Arsip Cerpen, Koran Lokal, Pikiran Rakyat ini pernah tersiar pada edisi Minggu (akhir-pekan) 9 April 2017