lnfus
SORE pucat, matahari mulai menepi. Tubuhku limbung, kepala pusing, bumi serasa berputar. Sementara sesenggukan masih terus rajin mengganggu tenggorokanku. Sejak pagi hari aku didera sesenggukan, setelah ikut membantu membereskan rumah kuriak di Jalan Kopo Bandung, rumah yang kusediakan untuk anak cucu nanti.
AKU ingat, sudah tiga hari membantu merehab rumah itu, pagi sampai sore. Selama itu aku kurang tidur, malam hari menghabiskan diri dengan menulis, di depan laptop didampingi rokok serta kopi. Baru bisa tidur jam 3 pagi atau setelah salat subuh. Setelah itu kembali ke pekerjaan membantu rumah. Kini gelap.
Tiba tiba aku berada di Jakartra, untuk menerima hadiah lomba menulis berita, aku juara 3 dalam lomba antar wartawan se-lndonesia itu. Sebelumnya aku tidak pemah tertarik dengan lomba semacam itu. Setelah menerima hadiah sebesar 8 juta, aku titipkan uang itu pada Adi, keponakanku.
Dari Jakarta menuju Bandung,bus nyemprung dengan kecepatan mahadahsyat. Duduk di sampingku seorang wanita cantik, usianya sekitar 30 tahunan.
“Bandung Neng?’
“lya,” jawabnya pendek.
Suasana hening, kecuali suara deru mobil dan sesekali suara klakson. Sekitar 20 menit berlalu,wanita itu berdiri, lalu memegang pundakku dan berkata:
“Saudara saudara sekalian, perkenalkan ini calon suami saya,” katanya seraya tersenyum dan menunjuk ke arah saya. Para penumpang menoleh padaku, diam, hanya menoleh. Lalu wanita cantik itu meneruskan perkataannya.
“Sebentar lagi kami akan menikah, tempatnya di sebuah gedung termahal melebihi Taj Mahal. Kami akan berbulan madu di hutan, di keindahan alam raya yang sangat indah” katanya. Penumpang tak ada yang peduli, aku juga enggan mendengarnya. Lantas aku tertidur .Tak ingat apa apa lagi.
“Pak, pak…bangun! sudah sampai,” seseorang menepukku. Kemet bus.
Aku sudah sampai di Terminal Leuwi panjang Bandung. Penumpang bus sudah tidak ada, tinggal aku. Buru-buru turun dan culang cileung. Dua wanita nampak menghampiriku dan tanpa berkata apa-apa, ia mengikat tanganku dengan rantai,kuat sekali.
“Ada apa ini? Lepaskan!” aku meronta. “Hey…kalian komunis ya? Kenapa saya ditalian seperti ini,ayo lepaskan!” semakin aku meronta, rantai yang mengikat ta nganku semakin kuat
Dan aku kini berada di penjara, bukan di kantor polisi, entah di mana. Dengan tangan diborgol, aku menghampiri petugas.
“Kenapa saya ada di sini, Pak?”
Tak ada yang menjawab, sunyi, suara air hujan terdengar, itu pasti air hujan, suaranya begitu jelas.
**
TEMAN-TEMANKU satu persatu berdatangan menengokku, seperti daun yang merindukan angin.
“Bapak dari pemerintahan, ya?” tanya wanita berpakaian putih-putih.
“Bukan, saya wartawan!”
‘Wah, wartawan baladnya Aher ya?” tanyanya lagi.
“Bukan, saya tidak suka Aher, ini calon pemimpin saya,” kataku seraya menunjuk Sapei, sahabat saya.
“Ha ha ha maneh ngalongok uing...,” teriakku pada seorang kawan.
“Nah…ini calon istriku yang keempat..,” teriakku pada perempuan tua yang entah siapa namanya.
“Tah…kalau ini suka lacur ya,” kawanku Beni kena semprot, aku seperti gila, dengan dua tangan terikat rantai,dan bibirku terus meracau tak keruan.
“I Love yu, lyen…,” bisikku pada gadis cantik berkulit putih, ia adalah lyen, ang gota komunitasku yang sudah kuanggap anak.
Seseorang berpakaian kumal datang dan berbisik.
“Don…masih inget saya, Priston, Si Firman bikin lagu bagus, geura dengekeun ku maneh,” katanya. Aku hanya tertawa. Kawan-kawan yang menengokku dalam penjara sudah berkumpul. Wartawan dari berbagai media juga nampak berebut ingin mengabadikan aku sedang gila, bener-benar gila.
Beberapa saat kemudian, tiga wanita cantik menghampiriku, lalu mereka buka baju, menari lagu india. Aku tak peduli,tiga wanita itu terus meliukkan badan penuh birahi, seksi. Lalu hilang menjadi asap, sementara kawan-kawanku dan wartawan masih setia menunggu.
“la sudah mati, kita harus menerima kenyataan, ayo baca Alfatihah,” bisik Sopiah, seorang wanita beranak tiga, tangannya menunjuk padaku. Anakku marah, ia marah dan bicara lantang.
“la belum mati, itu Bapakku, ia masih hidup, jangan mendahului takdir Tuhan,” katanya seraya menghampiriku, tapi malah aku tampar.
***
ENAM hari aku berada dalam penjara. Jam 3 subuh sekarang, lapat-lapat terdengar suara azan, lapat-lapat pula terdengar doa-doa lirih dari ratusan orang, datang dari gedung YPK, dari masjid masjid, dari rumah, dan dari seorang wanita yang kini duduk di sampingku, Neni istriku.
“Bu… di mana ini?” tanyaku.
Tak ada jawaban, kecuali surat Ar rohman mengalun lembut dari bibirnya. Perlahan mataku menyapa dinding sekeliling. Tanganku sudah tidak diikat rantai, tapi kabel-kabel infus menelikung tubuhku, masuk ke hidung, teliga, dan mulut
kabel kabel itu menelikung tubuhku
masuk ke hidung, mulut,qubu/, dan dubur
ratusan malaikat sembunyi di sana
siap mengantarku ke liang lahat
ratusan bidadari menari
menawarkan anggur
pantat dan bibir mereka menggoda
tapi kabel-kabel itu makin sepeti beton
atau terali besi
cairan entah apa namanya menetes pelan-pelan
meresap kejantungku, ke darahku, ke otakku, ke ajalku
enam abad aku tenggelam dalam kemesraan maut
Mencoba bangkit tapi tak bisa, Adi keponakanku mencoba menenangkanku.
“Mang… emut, Mang,” katanya.
“Adi…mana uang hadiah saya?” tanyaku
“Ada Mang… santai,” katanya agak kikuk
“Oh siap atuh, ari ieu di mana, Di?”
“Di rumah sakit Mang… sudah enam hari.”
Tiba tiba datang tiga wanita cantik lagi, kali ini berpakaian suster. Mereka tetap menari, kali ini lebih lembut, tak lagi seksi. Sambil mengucap alhamdulillah ketiga wanita itu tersenyum.
selang-selang infus saling tatap
air yang ngeclak di dalamnya
seperti gerimis
iramanya orkestra kematian
ruangiccu ini merawat sepi
tembok kamar saling menuding
saling memantulkan cahaya
aku beringsut ke tepi ranjang
tapi tanganku diborgol
kepalaku dihantam palu godam;
hitam
**
HUJAN pagi hari, mengguyur bumi,tiga wanita itu sudah tak ada, Adi juga, tinggal istriku.
“Pa, bapak ada di rumah sakit ini sudah enam hari, sekarang sembuh, harus sembuh,” bisiknya.
Aku mengangguk aku mengerti. lstriku membelai kepalaku penuh kasih sayang. Dua tetes air matanya menetes di keningku.
“Alhamdulilah… kita pulang besok, Pak,” bisiknya lagi.
menemukan tuhan
di setiap kabel infus
ia menjadi cairan o2
respirasi di antara kulit, nadi dan darah
senyumnya ramah.•••
[1] Disalin dari karya Matdon
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran Rakyat” Minggu 29 Juli 2018