Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga
Harum surainya seperti lidah sungai yang melontarkan tombak ke
jantung udara. Seorang perempuan membuntutinya. Ia baru saja
melewati Sabat yang panjang, renta dan melelahkan. Bagian-bagian
bawah tembok kota yang terbelah meninggalkan nganga sebesar
lubang jarum. Ia mengingat kembali iota para Yunani sebelum berani
bermimpi tentang kebangkitan, jalan ke surga, sumber air hidup,
burung merpati dan nyala api.
Perempuan itu menyentuhnya dengan
tangan beraroma tepung gandum.
Apa yang kauminta daripadaku, Puan? Aroma mausoleum masih
melekat pada beban terakhirku. Dari atas punggungku ia banyak
berbicara tentang lubang jarum dan revolusi, tentang Romawi dan
Yahudi, tentang kesedihan-kesedihan induk ayam dan airmata bapa-
nya yang jatuh untuk kedua kalinya. Ke arahku ia menjura padahal
semata cahaya yang menghampiriku.
Di ujung tembok itu ia menoleh. Adegan dari masa lalu diputar
kembali: Anak-anak melambaikan rumput segar ke puncak laparnya,
ibu-ibu merendahkan buli-buli hingga ke tanah. Air menyembul dari
bekas tapak kakinya. Jika ia menunduk, akankah ia lihat bayangnya
terpantul? Seorang perempuan tak lagi berjalan, tak lagi menunduk-
kan kepala. Ia melayang dan kakinya tak menyentuh genangan.
Telah kupikul kuk yang terpasang, kau malah senang menjerumus-
kan aku ke dalam umpama. Di punggungku tergeletak perkakas
yang terbuat dari merah yang luas dan ungu yang dijatuhkan dari
atas. Tujuh puluh tujuh lubang tak akan cukup menjerumuskan
sebab mataku mahir memilah muslihat, membedakan gerak gugup
mempelai pemalu dari pencinta mahir di balik tabir.
Ia kibaskan surainya untuk para pembangkang yang semakin lama
semakin kecil terlihat dari antara sepasang kaki depannya. Berse-
diakah kau menuliskan kisahku? Juga untuk perempuan yang tak
henti mendoakannya. Kuseret kelak si penjatuh ke hadapanmu,
Puan, agar leluasa kau menaklukkannya.
Naimata, 2014
Seekor Keledai di Depan Lubang Jarum
Sebuah kota tenang mengapung di atas danau Galilea. Ratusan
orang kaya menghuni kota, mengadakan pesta sepanjang waktu,
menumpahkan anggur terbaik bagi ikan-ikan yang berkeriapan di per-
mukaan danau. “Mereka sering kali mencekik orang-orang seperti
Lazarus dan Bartimeus,” katamu. Ayahmu mengirimkan angin besar
yang menggoyang-goyangkan seisi kota. Kota yang sedih, kota yang
sedih, cintailah aku seperti anak ayam mengasihi bulu-bulu tebal in-
duknya. Engkau mencengkeram jubah salah seorang penduduk kota
itu dan menyeretnya ke hadapan kami sebelum kota benar-benar
tenggelam. Di hadapan kalian yang mengitari sinagoga ini, aku dan
Lazarus adalah anomali. Ia dipuji karena harta, kalian dipuja karena
kata. Kami berdua adalah semut di ujung tumit yang hanya pantas
dicibir sekawanan anjing.
Engkau menudingkan telunjukmu ke wajah si kaya ketika melipat
lidahmu dan mulai mengumpamakan kerajaan surga. Lazarus yang
kian gentar hanya menunduk di sudut gelap dan berusaha mem-
bendung airmatanya. Langit tak pernah terbuka. Tabir tak pernah
terbelah. Gemuruh tak pernah terdengar. Merpati tak pernah me-
nampakkan diri. Ia tak pernah menjadi raja. Setelah mengisahkan
kembali cerita yang diperdengarkan Abraham ketika Lazarus duduk
di pangkuannya, sekelompok orang dari luar sinagoga masuk dan
menyeretmu. Kami semua tahu akhir kisahmu, termasuk anjing-
anjing di dalam sinagoga yang kelak menjilati bunga-bunga luka yang
mekar dari batu-bau para perajammu.
Aku berdiri di hadapan lubang jarum ini, kini, setelah melewati enam
hari yang melelahkan. Tanpa kuk. Tanpa muatan. Tanpa beban. Bo-
lehkah aku memilih untuk tidak melewatinya lagi?
Naimata, 2014
Mario F. Lawi dilahirkan di Kupang, 18 Februari 1991, dan bermukim di kota kelahirannya. Bergiat di komunitas Sastra Dusun Robamora. Kumpulan puisinya adalah Ekaristi (2014).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Mario F Lawi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Koran Tempo” pada 11 Januari 2015