Kisah Empat Gadis Pemilik Perahu – Sang Pengabul Mimpi – Tak lagi Milikku
Kisah Empat Gadis Pemilik Perahu
empat gadis berceloteh tentang perahu mereka
pada kakek yang duduk di tepian dermaga
gadis pertama mulai bertanya
tuan, tidakkah kau lihat perahuku?
diam dan hanya menunggu ombak.
angin berjalan berdampingan
padahal matahari mulai tenggelam
bagaimana aku berlayar menuju pelabuhan?
saat rembulan jua enggan berteman
gadis kedua menghampiri dan bergumam
tuan, sekiranya perahuku terlampau lama berlabuh
hingga ia akan kehabisan bahan bakar
adakah tempat lain yang mesti kutuju dahulu?
sekedar melepas penat setelah berlayar
ataukah berharap perahu lain menjemputku
gadis ketiga memberanikan diri mendekat
tuan, aku memiliki tiga perahu
dengan ketiga nakhoda berbakat
manakah yang dahulu kunaik?
yang semuanya menawarkan emas dan permata
berkilau
setelah aku sampai di pelabuhan nanti
gadis keempat tampak cemas,
tuan, bagaimana denganku
perahuku terlebih dulu kandas
tanpa sempat berjalan menuju pelabuhan
adakah kesempatan?
untukku berlayar seperti waktu itu
biarkan perahumu berjalan sebagaimana mestinya
meski itu lurus, berbelok, mundur, bahkan harus diam
sekalipun
ia akan menentukan pelabuhannya
laiknya berjalan di lorong gua yang keluar menuju
cahaya
kata si kakek yang telah termakan usia
mantan nakhoda sekaligus penunggu dermaga
Sang Pengabul Mimpi
aku bertanya setengah sadar
pada sebaris rumput yang tumbuh lebat
di pekarangan
sembari kedua tanganku berlipat
dan mataku nanar penuh harap
apa benar kenyataan berlapis tipis
impian tertulis berbaris-baris
di dinding tempat ia terlihat manis
meski sekedar polesan tinta yang mulai habis
“mungkinkah pengabulan doaku delay?“
bisikku lebih pada diriku sendiri
saat pergantian tahun di momen kembang api
kutuju hanya pada sang pengabul mimpi
Tak lagi Milikku
kau tak lagi milikku
terbang terbawa angin masa lalu
si pemberontak ulung
menyerupai malaikat pencabut sukma
iblis menjadikan tangis
pernahkah aku menjadi duniamu
ketika kau sibuk dengan mainan
padahal berkali-kali aku menegakkan
kedua tangan dan kakimu
dari asal tempat dudukmu yang empuk
sempat memiliki matamu
terasa seperti mengibarkan layar bersama di kapal
meski terhempas karang, dan membencimu sekarang
kau tak lagi milikku, leburlah jadi abu
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Herwit Daya Tani
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” pada 22 Februari 2015
Puisinya sangat bagus, terutama pilihan kata-katanya.
Mudah dipahami, walaupun saya yakin makna dibaliknya mungkin tidak semudah kelihatannya. Ada makna mendalam dibalik kalimatnya.
Puisi tentang "Gadis Pemilik Perahu", sangat bagus.
Teruslah menulis, ditunggu karya selanjutnya…
Salam
.terimakasih banyak, insyaAllah masih bs trs berkarya yg lbh baik lagi
.terimakasih banyak, insyaAllah semoga masih bs trs berkarya yg lbh baik lagi