Jalan Kecil ke Bukit – Bedeng –
Jalan Kecil ke Bukit
– Mesty Ariotedjo
Puisi yang kusembunyikan
Mencarimu kembali pada jalan kecil ke bukit
Jalan yang batas-batasnya mungkin tak dapat lagi kukenali
Kecuali pada bait yang setengah mabuk
Kutulis ketika matahari mulai meninggi dan aku melemparnya
dengan sekerat dahan lapuk
Tentu saja matahari itu jatuh
Jagat pun padam
Monyet palsu dalam diriku lalu menyulunya
dengan sepotong bintang jatuh yang menimpanya suatu malam
Ada yang mengatakan ia melakukan itu dengan sadar
Yang lain menambahkan ia hanya teler
Aku tidak tahu siapa yang benar
Yang bisa kupastikan hanyalah ia sedang lapar ketika itu
Tubuhnya gemetar dan mukanya pucat
Lalu kulihat dia mengendusmu seakan engkau
adalah cempedak masak di tengah rimba lebat
Kalau saja aku tak ada
Tentu dia sudah makan siang dengan lahapnya
Aku mengusirnya
Aku lecut punggungnya dengan cemeti kulit berduri
Aku biarkan ia kejang
seperti benalu kering di pucuk pohon layu
Itulah yang terjadi
Di pendakian yang menyenangkan kulelahkan diriku
dengan aroma mayang yang terbit dari peluhmu
Bedeng
1.
kami membongkar bedeng
dari pemukiman yang kini telah menjadi lahan parkir
kami tinggalkan tepi rel dan tepi sungai-sungai
lubuk-lubuk angker
makam-makam keramat
kami tinggalkan semua tempat yang dulu kami huni tanpa
sepucuk pun
surat-surat
kami masih mencari alamat
kami ingin diam di sebuah tempat yang aman di pinggiran
agar kami bisa menemukan kembali colokan kabel tivi
panggung dangdut agustusan
bilik sempit tanpa jendela
suara bising mesin penggosok batu musiman
meraung-raung
di sepanjang mukim yang sekadar pemukiman saja
mungkin nanti ada orang yang mau
mewaqafkan seluang tanah untuk mendirikan langgar
mungkin ada pak haji
mungkin juga nanti ke situ ada sumbangan mie instan
dari pengabar yang datang untuk sebuah misi
kami tidak keberatan
yang penting mereka tidak meminta kami menjadi martir
kami masih mencari alamat
di situ nanti kami ingin membuka warung gorengan
warung sayur
nasi uduk jam enam pagi
kalau ada putaran jalan
bocah-bocah tanggung akan mengamankannya
dengan kaleng recehan
bergiliran
kami juga ingin mendengar suara orang tahlilan
menjemput nasi kotak
uang lima puluh rebu
agar berkahlah kesedihan yang telah membuat kami kering
makin kering
waktu demi waktu
Janganlah takut
Karena sajaku hanya sedang bercerita
Di dalamnya aku sengaja menjelma
seekor binatang sirkus yang kasmaran
Agar dengannya aku berterima kasih
untuk waktu singkat yang telah memberi kita
sekadar perjumpaan
Aku juga berterima kasih pada bantal kapas yang empuk
bunga padi
riak segara
bocah-bocah melambai hangat
pada tamu-tamu yang melintas di desa mereka
Tak kulupa Ruteng yang sunyi
Tak kulupa suara bus kayu menghilang di tikungan mendaki
Bahkan dalam tidur yang paling lelap
Aku masih mendengar suara benang dikempa
kain diragi
lipa songke yang terang dibawa dansa
Sajakku pun berpesta
Di dalamnya engkau kujamu dengan pikiran yang setengah mabuk
Aku hidangkan untukmu jus rumput
acar pinang
sate buah kemiri
Aku iringkan hidanganku dengan dendang
perempuan-perempuan dusun yang meratapi mayat
di rumah si mati
2.
kami mendirikan bedeng
di kubangan yang tak lama lagi akan menjelma sebuah
kapal induk
dengan laman yang lapang
di tengahnya ada sebuah kincir raksasa
bejana crystal
tungku penyangga yang tinggi
tujuh pembuluh batu membuang air
ke parit-parit yang membujur lurus
ke seluruh sisi
tebat jernih di bawahnya
bundar serupa gigir cakra
walau tak dalam
cukuplah untuk berendam mendinginkan kelamin yang batangnya
mulai mengkerut
karena lama tak diraba
kami tidak tahu di mana pintunya
namun untuk sampai ke situ kabarnya
ada lorong bawah tanah tersembunyi
di balik panel
kaca hitam lebar
di bawah jajaran palem gurun
patung-patung binatang purba
dinding ajaib menyalakan lampu bila gelap tiba
tidak ada tanda-tanda di sekitar ada lautan
tidak ada aroma pulau
malahan udara berbau limbah rumah sakit
dan sangat bising
sungguh membingungkan
karena setiap parit di taman itu dilengkapi dengan sekoci
dan tangkai pancing
kami melamun saja
berandai-andai seumpama patung-patung di taman itu
ketitipan arwah
seumpama perempuan bugil di tebat itu
ternyata seorang ratu pesugihan
tidakkah ia akan menggilir kami satu per satu
serupa kami menggilir kamar mandi
untuk sekadar menyiram badan?
Agar dapat kau masuki pintu-pintu gua yang purba
kemah fosil
istana mawa
Agar dapat kau angkat
jangkar hantu yang terkubur
di bawah patahan lempeng-lempeng benua
Aku iringkan dirimu
Tak kulepas sampai kita meninggalkan Denge yang sejuk dan ramah
di atas lembah-lembah basah
Makin ke hulu, jalan setapak makin menyempit
Di sisi tebing, akar-akar tua berlumut mulai merapuh
di pelukan tanah
Nanti akan ada hari yang sangat sibuk
hari dapur hari janur hari daging dan lauk pauk
Pusaka didarahi
Gendang kulit diturunkan dari tiang gendang yang paling tinggi
Ada tetua yang akan memimpin upacara penyambutan
Lalu orang akan menari sesudah menghaturkan seserahan
Di dalam robo ada air nira
Di loteng ada cadangan tuak untuk mereka yang akan bertanggang
hingga subuh tiba
Aku tidurkan sajakku
Di bawah atap niang yang antik
Aku titipkan di situ seluruh mimpi yang ingin dikisahkannya padamu
Waerebo 2013 – Jakarta 2014
kami melamun saja
berandai-andai seumpama
seorang dari kami bisa membaca pikiran
pastilah ada yang membayangkan patung itu
terengah-engah
mirip dengan nafas ronggeng kampung
yang pernah ia tiduri di tepi kuburan
seberang sawah
tapi lamun kami tak bisa lama
kami harus buru-buru membersihkan sampah kayu
atap seng bekas
lapik buruk bertungau
menumpuknya di atas bak truk yang akan membuangnya
ke pinggiran kota
sedang kami menuju tumpangan pula
menuju terminal bus antar-propinsi sambil menenteng tas baju
dan kardus ringan
di dalamnya anting palsu untuk istri muda yang sudah sebulan
kami biarkan
ada sedikit bingkisan beraroma ibukota
: kerupuk hambar
biskuit kering
untuk yang sudah tanggal giginya ada
kami bawakan sekaleng
kolang-kaling
kami membongkar bedeng
dari kubangan yang kini sudah menjadi kota
di dalamnya kami tinggalkan sebuah rumah gedung
dengan tamannya yang ajaib
tidak kami tahu siapa pemiliknya
2015