Telaga Hilang Riak
Kita pernah menyimpan rahasia di telaga kata
Nama-nama yang tercatat tetaplah sama
Membelah batu batu
Ke akar-akar pohon kekar
Ia masih sediakala, sejak pertama dilahirkan
Terimalah sebagai gelimang rasa
Kita menyimpannya untuk anak cucu yang mulia
Bila tiba saatnya
Tak ada lagi yag mengalir
Batu-batu tak berlumut
Tanah tak berair
Daun hilang hijau
Barangkali anak cucu kita
Tak ada lagi yang menerima rahasia
Kata-kata dalam kerontang
Tidak di telaga, tidak dalam rahasia
Dunia kembali purba
Menusuk-nusuk rahim ibunya sendiri
Menderita karna di lahirkan untuk derita
Rahasia hanya untuk dimuliakan
Mengalir bersama sukma
Terimalah ia sebagai rahasia
Telaga hilang riak katanya
Yogyakarta
Anapuisi
Aku sendiri. Menepi, ke sunyi, ke hati. Diri
Bisik-bisik suara membuatku kelam
Terbenam dalam angan
Aku puisi. Bersemayam di sini
Menunggu gadis yang membawa air matanya
Juga seorang lelaki akan datang
Membawa duri yang diinjaknya
Aku diri. Melihat orang-orang menari
Apakah mereka mencari mati
Tak ada detak. Mereka pergi
Lagi dan lagi. Aku tumpah ke padang waktu
Dalam hening debu
Dan mereka menunggu
Aku sendiri. Dalam tanda
Sepi dan sunyi membaca diri. Dalam hati
Aku puisi yang tak dilahirkan
Tapi aku di sini. Dalam diri.
Yogyakarta
Kalam Puisi
Baiklah. Kami sepakat tidak saling berkata-kata
Membiarkan segalanya pada gemericik sungai
Kalau airnya jernih, ia akan membuat kami tertawa
Dalam diam, kami berebut kemilau kerikil
Kala duka tertahan dalam kebisuan
Kami panggil desir angin dari kejauhan
Sebatang pohon akan menggugurkan daun-daunnya
Dan menyampaikan pada siapa saja melewatinya
“firman tuhan telah sampai pada kita
saatnya menunaikan ibadah
agar tanah selalu bahagia.”
Kami sepakat untuk diam
Agar lafadh-lafadh tunaikan tugasnya
Air mengalir ke tempat-tempat kering
Angin mengawinkan tetumbuhan
Begitulah cara kami menikmati keindahan
Membiarkan alam membuat puisi berjalan
Yogyakarta
Segala Puji Bagi Puisi
Segala puji bagi puisi ang
menjadikan bunga-bunga bermekaran
Segala puji bagi puisi yang
menjadikan kata-kata berbakti
Segala puji bagi puisi yang
menjadikan manusia bahagia
Segala puji bagi puisi yang
menyediakan ruang tafakkur
Segala puji bagi puisi yang
melahirkan kebijakan
Segala puji bagi puisi yang
membuat segalanya berarti
Segala puji bagi puisi yang
menjadikan segala tanda bermakna
Segala puji bagi puisi yang
mengahpus perbedaan warna
Segala puji bagi puisi yang
mempertemukan kasih dan sayang
Segala puji bagi puisi yang
menyampaikan salam kepada tuhan
Segala puji bagi puisi yang
menghormati laki-laki dan perempuan
Segala puji bagi puisi yang
tak lelah mengajarkan kebaikan
Segala puji bagi puisi yang
membawa pada kebenaran
Segala puji bagi puisi yang
memberi martabat pada hewan
Segala puji bagi puisi yang
menjadikan mesra kematian
Terimalah kasih ini
Puji atas segala kerendahanmu
Tuhan mengutusmu
Aku menerimanya
Yogyakarta
Lukaku Apakah Lukamu
Luka apa ini Tuhan?
Mengapa darahnya sampai di sini
Sambil menyanyikan derita luka
Mataku merah saga
Melihat kenang menyelam di telaga darah
Luka yang mana lagi ini tuhan?
Mengapa berakar di teluk mata
Luka yang mana lagi ini tuhan?
Mengapa melukis cinta di langit senja
Aku akan pulang
dan mengabarkan yang tak pernah ada
Luka yang kubawa lebih indah dari lukisan tuhan-tuhan
Entah, sampai kapan aku memeluknya
Luka yang terbatas darah dan derita
Tuhan, lukaku apakah lukamu?
Yogyakarta, 09 September 2014
*) Den Muhammad Rasyidi, aktif di kajian sastra Masyarakat Bawah Pohon, tercatat sebagai mahasiswa Filsafat Ushuluddin UIN SUKA Yogyakarta
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Den Muhammad Rasyidi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran Rakyat” 29 Maret 2015