Hujan Tiba
Hanya ada dalam buku-buku harian
Tumpahan butir hujan, yang dimainkan
Anak-anak dengan baju sobek berlipatan
Di selangkangketiak. Dan banjir seolah ragu
Menyanyikan kematian yang hanyut
Di dasar jalanan, yang terinjak berulang-ulang.
Sampah-sampah yang berjalan pelan
Dan kita menelan.
Aku merasa jenuh menyaksikan sampah
Dari perangai gua-gua berkarat
Mengapa semua itu sampah.
Dan politik kotor itu nafas yang sah.
Aku ingin menjadi tulang-tulang tua
Dalam tubuhmu membuat hujan
Secara kebetulan.
2011
Mengheningkan Ibu
Api tumbuh. Dari rambut hitammu
Aku datang ke rumah, mmeabwa lipatan surat
Mengais ayat-ayat. Mendoktrin jasad-
Jasad yang terkumpul dengan bara
Di atasnya. Di ruang kecil, aku kembali
Di sana ibu berdiam. Meronce airmata
… … … dengan anda phytagoras
Di tungkau pakaian yang layu. Ibu terkurung
Menanak belati di kamar mandi. Menguras
Kenangan dari yang bertulis nama, Ibu.
Ibu, masih membaca aku. Dalam rahim
Dengan tongkat sihir. Semangkuk senyum
Secangkir pedih. Bertubi aku melihat ibu
Memanggil-manggil ayah. Yang telah lama
“Nak, Ayahmu adalah dinding itu.
Keras, bisu, dan diam-diam.
Namun ia selalu menjaga kita
Dengan cinta yang selalu sama.
Afrilla Utami, penyair
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Afrilla Utami
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran rakyat” pada 26 April 2015