Kidung Kudang
setelah luruh seluruh kisah. lumut menghapus
tembok. ke peluk kenang aku mengucil ber-
sama masa kecil. tak lelo lelo ledhung.
kota membuka kotak pandora, waktu terayun.
nyangsang di tembang gendongan. tak lelo lelo ledhung.
kaki tersesat antara hotel dan candi.
di tanah yang sama keduanya, bersitumpang se-
rupa belitan sulur batik dalam timangan. tak lelo
lelo ledhung. angin menyeret bau gosong:
bonggol jantung yang terbakar. abunya berserak
serupa huruf-huruf dalam sajak
Jumpritan
pada mulanya semua terkumpul. berpegang
pada setegak tiang. angin yang tak pernah
diam. membentuk liuk lekuk. semacam ta-
rian. godaan. kaki-kaki yang di bumi kesedot
rangsang. ketarikan tulang. lengan pun melim-
bang drai tiang ke pegangan. dari yang satu
ke yang ragam.bonda-bendi sing ketiban da-
di. dia yang telah ditunjuk mengincim kami.
mengejar ke mana pun pergi. membuat pe-
meluk jadi pencari. petualang jadi pelarian.
sing dadi tungguk epuk, beluk. suara-suara dari
persembunyian: peringatan sekaligus olokan.
menggerakkan yang berhenti.. menghentikan
yang bergerak. kami yang lengah dan menyerah
jadi santapan setan. selebihnya tawanan.
Balon
lepas dan terbang. tangan-tangan angin
menyeretnya. dalam campuran kesedihan dan
keikhlasan, aku berdiam. matahar mematuk
dengan paruh silaunya. meluberkan bayang-
bayang. kota dengan jebakan-jebakannya. ber-
pantulan di kaca-kaca. melompati pagar-pagar.
mata yang digandeng kemilau menyusuri impian.
manekin dengan busana kemewahannya. la-
lu gerimis. tangga berlian emnyangga langit.
membiaskan kilau kilat, bulan hanya hawa.
dingin. menusuk-nusuk tulang rusuk. aku me-
lihat dalam ketertutupannya. lapisan-lapisan
menawan dan menyesatkan
Enthung Uler Jedung
genting pecah. kutatah jadi fondasi. pintu
jendela. kutunggu ulat jadi kupu, kutunggu
pada sekendi air putih dan cuka carang yang
pedih. waktu itu datang. kau terbang. kucuri
kepompongmu. kujadikan rumah: peti seluruh
sejarah. tinju atau jatuh tak mampu merubuh-
runtuh. kelak, angin kan gerakkan sayap-sayap.
memulas langit. memeluk seluruh cahaya dan
bayangan. sayapku. pelukku
Kothekan
musik barang rombengan. berserak di ja-
lan perkampungan. menindih tidurku se-
rupa aum seja-rah. antara meja makan dan
bayangan matahari, mimpi terpoting. waktu
menahan datang . sunyi kugelar dalam seham-
par sajadah usang. kutata ulang tetabuhan.
taring tarikh kurapikan.
Kitiran
setangkai daun singkong terselip di jari te-
lunjuk. kuputar serupa baling-baling pesawat
terbang. aku terbang. kuajak pkiran menjauhi
kampung karam. kakiku sepasang angin.
memantuli daun-daun, awan, dan cabang-ca-
bang cahaya. tak ada lagi bujuk rayu dan omong
kosongmu. hanya desis dan kicau burung di
kupingku, seluruh rindu dan kenangan ku-
titipkan ke mendung tebal. kelak, bersama
sulur-sulur hujan aku hadir sebagai peziarah.
Gapungan
angin menggetarkan membran kesunyian.
keheningan memecah. tumpah bagai hujan
kunang-kunang. menggelombangkan keham-
paan. gaungnya tumbuh melebihi hutan. me-
nyimpan lubang-lubang kekosongan. angkasa
berputar dalam selaputnya. emmayungi kota-
kota. denyutnya: bahasa tanpa kata.
Jaran Debok
dengan pecut di kanan, pedang di sengke-
litan, kudatangi palagan dmei palagan . ber-
jingkrak menuding langit. menemuimu.
menjemputmu. pintu-pintu tertutup. kupe-
cut, cimplong, menyedot seluruh cahaya. tu-
buhmu ringkik kuda gusar. langkahmu canting
merobek kain. di bawah kilau kilat hanya
bongkah bungkil kulihat
Layangan
musuh kami bukan lagi reranting dan daunan
yang mudah disogrekk benang gelasan. tembok
dan kabel lebih dempal dan bebal. jika tak lincah
bisa munting dan nyangsang. meski tetap harus
kuat dan tajam, benang tak lagi bisa diulur
panjang seperti kami punya pikiran. semua kini
serba terbatas. lengah sedikit saja, urat yang
serupa benang bis aputus dan amblas.
Ngasak
setelah lengkuh raya. sebelum malam meng-
hapus ladang dan pagi menyulapnya jadi la-
pangan, kupanen apa yang telah diikhlaskan.
yang berakar bukanlah sisa, yang terbiar bukan
tak berguna. aku bukan pemulung. aku tak
mencuri. yang akan lalu yang akan datang. aku
garis lintang. cutik kayu dan bangkelan baju tak
memaksaku jadi pemburu
F. Aziz Manna, lahir di Sidoarjo, 8 Desember 1978. Aktif di komunitas Teater GAPUS Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karya-karyanya antara lain terkumpul dalam “What’s Poetry” Forum penyair Internasional Indonesia (Henk Publica, 2012) serta “Sirkus Sastra” Bienalle Sastra Salihara (2013). Buku puisi tunggalnya, di antaranya “Wong Kam Pung” (FSS 2010) dan “Siti Nurbaya” sebuah puisi epic (Garudhawaca, 2014).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya F. Aziz Manna
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” Minggu 2 Agustus 2015