Narwastu
apakah itu rambutmu yang berkibar
disisir angin timur
hingga aku teringat sulur sulur melambai
di rumpun belukar
yang dikerumun sekelumit andai
di lembah pencarian tersamar
bayang diri menjura
dalam tualang risau usia
aku hirup aroma yang memanggil tarian
lingkar gerak menghisap keberadaanku
yang linglung di ujung panggung
seperti berharap ada perjamuan
di keluasan alam terbuka
di padang padang rumput menyala
sembari menambatkan langkah senja
mendekat dan menghamburkan dekap
adalah kejumudanku dalam meraba
pusaran elegi pada putaran jam
yang bergumam lirih menahan perih
waktu tersangkut jejarum tafsir
dari sepetir penglihatan yang ledak
terikut kata kata mendesak
belum tertapakkan juga irama
karena cuaca meliburkan keberanianku
untuk menerjemahkan isyarat
yang dikirimkan tangan gaib
hingga aku pun termangu kelu
dan tak tahu mesti bertanya kepada siapa
sampai kurasakan ada helai sepoi
apakah itu benar kibaran rambutmu
yang kini mulai melingkari leherku
Jakarta, 2015
Dari Sir sampai Tajali
kau mendengar alun napasmu sendiri yang lirih
seperti mengangkut serimba hayat, imaji rintih
mendaki bukit wingit yang begitu sepi
bersama kesendirian yang makin lesi
kau mencari yang masih tersembunyi
di balik lipatan kabut di puncak sunyi
dan rimbunan alamat belum tertakwilkan
meski telah dirapalkan mantra penyingkapan
rindu yang kaukandung dalam jantung
bergolak berontak hendak keluar menjelma laung
menjadi darah mengalirkan nada dalam nadi
rekah gerak sepanjang usia, nyanyian budi
Jakarta, 2015
Gumam Laut
hempasan ombak menyerbu ke dada karang
tempiasnya menjelma jemari gerimis
menjamah tubuhku, hingga aku terpelanting
ke dalam bayang luka dan remang
ingatan menyerpih diri, dalam rinai kepingan usia
menyasar kiblat, mencari alamat tuhan
deru angin bertandang bertubi seperti menyeru
kepada napasku, hendak ke mana arah
kemurnian pijar di dalam darah
ketika menyebut sebuah nama dengan perlahan
dilimbur detak, berganti suar kasar dan lembut
berguncang dalam hambur helaan tangan nafsu
sendirian, aku berjalan pada penempuhan
dari tepian ke tepian, mengimani debur pusaran
menakzimkan tanya yang tua pada kegaiban desir
dengan waktu yang terus dikuliti musim musim
sumir
sementara doa serupa seorang musafir lusuh
yang datang samar samar dari tempat terjauh
Jakarta, 2015
Kumandang Deru Laut
seperti ada berbagai nyanyian yang berbaris
datang dari palung laut kesunyian
dengan partitur golak yang panjang
membangunkan pantai yang tertidur
dengan mimpi kerlip kota kekinian
iramanya terus mengurapi mimik langit
dan membaluri punggung kenangan
bersama cercah tatapan matahari
yang temaram mengusapi cuaca
dilingkup bongkah bongkah awan senja
terasa kumandangnya mendekat-menjauh
mengantarkan panorama sebuah perahu
di tengah keluasan arus kemungkinan
mengayuh kata dari ombak ke ombak
mencatat suara suara ke lubuk diam
senja makin menyusup ke peluk kelam, namun
masih terdengar suara burung laut yang beterbangan
juga tersisa ribuan alun gema
lagu lagu yang menaungi para pelaut
dari pertempuran ke pertempuran
Jakarta, 2015
Budhi Setyawan, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 9 Agustus 1969. Berkegiatan di Sastra Reboan Jakarta dan Forum Sastra Bekasi (FSB). Puisinya dimuat beberapa media massa dan antologi. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budhi Setyawan
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 13 September 2015