Epilog – Penyeduh Kopi – Pikun – Bayangan – Relung Duka
Epilog
kakiku berhenti di stasiun kereta malang
membawa derap langkah menyimpan kenang
ciptomulyo, ah aku mencium aroma tubuhmu
yang pernah kukubur bersama rindu-rindu
biji matamu
gigimu yang berbaris kilau kerinduan
jemarimu yang membelah kebencian
dan hatimu telah kutanam
aku kembali membuka kenang
yang telah lama membunuhku
melepas temali mencabik kebencian
terpanggang perih
Penyeduh Kopi
di sudut kota pengap tubuh jalan beringas
hujan membekukan keramaian
wajah lapar penyeduh kopi bungkam
lidahnya getir terperangkap ilusi
bermanja di jantung kenang, hening
bibir kelu memecah tawa
lingkaran waktu tercecap pedih
pagi beranjak pulang
menjemput malam
Pikun
undang-undang terperangkap di tanah beradat
pasal-pasal dan ayat-ayat beraroma darah
bermuka pikun
di menara yang berkumpul tawa
matanya liar
satu dua lirikan bermekaran dusta
Bayangan
dinding kamarku dari kepalanya bermekaran bunga
aku menjadikannya kenangan
pelarian senja yang membunuh lidah-lidah kebenaran
dinding kamarku menjunjung keabadian
dari mulutnya keluar mantra-mantra benci
menikam jantung-jantung dusta
membelah tawa menggulung bayangmu
yang melarikan puisi-puisiku
Relung Duka
cermin merindukan wajah sinis berhati mulia
bukan wajah pemburu berbulu merak
di relung hati paling dalam aku terpana
sampai kapan ibu pertiwi bahagia
tubuhnya renta
wajahnya keriput bermandikan nanah
masih saja duka menghiasi tubuh di tubuhnya
anak cucu hingga orok yang hidup
terlahir suka merongrong tubuhmu lewat
daging-daging dari tubuhnya
membesar dari uang amarah
Abd Rahman M: lahir di Prapat Janji Sumatera Utara 29 Juni 1989, tinggal di Jalan Perjuangan Gg Sabar 17B Medan.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Abd Rahman M
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 22 November 2015