Mata Angin – Sajak Pejalan Malam – Dua – Kwartrin Pagi – Derai Hujan
Mata Angin
Rasa cemas pun berlari mengitari
bayangku. Antara lindap
merayap sabankali meratap
Di antara dua mata: buritan dan palka
Beberapa ranting ikan patah
Angin laut gelisah. Seperti dicatat
di buku penuh gurat
Oleh mata angin menahan ingin
di balik tubuh. Musim
mangsa labuh
Yogya 2015
Sajak Pejalan Malam
Kupindahkan tubuhku dari suatu malam
ke lorong kesenyapan. Dingin mengajak diam
Di ujung, sepotong cahaya dan segelintir suara
berencana
Mengangkatku ke suatu tempat. Berpadang datar,
berbutir pasir. Putih merintih getir.
Inikah Mahsyar yang kau janjikan? Tak ada teriakan
sangkakala. Hanya samar suara gemerincing
Scalpel mengadu pada gunting. “Aku lelah menjagai
kamar bedah.“
Kedua pengawal pun mencatat alamat singgah
Subuh tubuhku kutinggalkan dalam demam
Lamat-lamat kuingat tempat kuberangkat
Sebuah alamat di ruang penat.
Selamat datang pejalan malam
Tempatmu sudah dipersiapkan
Bimbang hilang.
Yogya 2015
Dua
Satu diam, satu gemetar
Saling tatap
Satu tanya, satu lupa
Jadi dua
Satu lela, satu tabah
Lawan kalah
Satu kata, satu gerak
Dinding retak
Satu dingin, satu hangat
Lipat abjad
Satu kupunya, satu kaupunya
Barangkali
Kapan kembali?
Yogya 2015
Kwartrin Pagi
(1)
Gemeretak bukan detak
Dingin sembunyi di balik kawat
Dan deretan aksara meloncat
Tanggalkan koma lupa bertanya
(2)
Urat cahaya semburat pagi
Sepi mulai tersingkir rapi
Suara tuter menyemai gemas
Sekumpulan rindu lepas
Yogya 2015
Derai Hujan
Derai hujan melelehkan butir-butir diam.
Katak diam. Kata berlompatan.
Sebagian kuyup sebagian lain takjub.
Bagi kuyup, dingin merentak sungai
hingga hilir bekukan rindu. Sepetak tanpa retak
Tanpa jejak
Bagi takjub, semaikan benih jiwa
hingga angin beredar. Tak sekedar bertiup
Lepas katup
Yogya 2015
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Slamet Riyadi Sabrawi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 8 November 2015