Samadi Bunyi
tabuh kentongan
dalam kentongan sunyi berubah jadi bunyi
sekali dua kali dipukul hanya risau yang menjawab
bersama gema yang berlalu bersama sisa debu
disapu gerimis
orang-orang diam dalam selimut meski gaung
bertalu-talu memanggil maut
sesayup sayup seperti surup dalam gigil tubuh yang
kuyup
rindu mengaduh bersujud bersama sepukau nyeri
kuterjemahkan dalam nyaring bunyi yang abadi
dalam kerodong malam memuja bulan menunggui
kelam
bersama jagat yang terbungkuk-bungkuk dalam
sehening inikah hingga kau dekap malammu
dan hujan membiarkan tubuhmu kelak dirajam
kabut
sebelum esok menjelma api membakar diri
merangkum nyeri
tempat merapal mimpi melumut dalam pedhut
meledak dalam jakun setelah beku di kungkum
waktu
Wangsit Langit
1/
bulan abu-abu menggigil dibasuh malam dari rahim
langit yang gelisah
menjeritkan raung sunyi yang merangkak di ujung-
ujung nafas
kiblat-kiblat rindu melambai bersama angin di setiap
derit pintu
tercecer serupa kilau embun-embun cahaya dalam
lorong waktu yang gelisah
aku terengah-engah menjilatinya dalam gelap yang
sempurna,
beri sekejap, sekejap saja..!
seperti kerjap kunang-kunang yang terbang di ladang
yang segera lampus bersama rimbun bayang
pohonan
membuat gagap menerjemahkannya dalam sajak
yang juga gelisah
2/
di ujung-ujung langit ini kau tinggalkan aku sendiri
mabuk menghikmati heningmu yang berputar-putar
di segenap nadi
seperti kelasi di hantam badai dalam gejolak laut
merindu daratan
jalan pulang menjadi makin samar dan gemetar
peta-peta kian tak terbaca dan aku hanyut dalam
pasangmu
dirajam rindu tak tuntas-tuntas, merapal doa-doa dan
dada menjadi purnama
milik siapa raung sunyi ini?
memantul-mantul menggedor-gedor pintu dan
jendela
lagi-lagi aku sibuk menerjemahkannya dalam
patahan kata-kata
yang melesat serupa bintang di pucuk-pucuk langit
yang murung
membuatku asyik mengembara dalam terik cuaca
juga taufan yang kejam
3/
ini bukan perjalanan biasa, pengembara yang
terengah-engah menelusuri peta
sesekali tergelincir dalam bandang arus kali dan
tubuh kuyup oleh anyir embun
dan serumu serupa gaung-gaung bersambung, “Aku
di sini..!“
berkali-kali menggapai namun tak sampai-sampai,
yang tergenggam duri berkali-kali
di gelap langit aku hanyut di dalamnya mengejar
aksara-aksara yang bisu
berputar-putar tanpa hilir dan hulu dalam keriuhan
persimpangan malam
kembali sebelum ajal mendekam
di puncak malam kubakar dupa bersama sejumput
tembang merajut sunyi jadi bunyi
bersamanya bulan ambyar di jantungku dan sealir
syair mengalir ke ujung-ujung udara
sebelum subuh yang ranum muncul perlahan di sisa
malam yang rabun
sajadah dalam nadiku menjelma alas yang berkobar
kobar kujelmakan dalam puisi
Tjahjono Widijanto, Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Buku-bukunya antara lain Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (2011), kumpulan puisi Janturan (Juni 2011), Singir (2014), serta Ekstase Jemari (1995).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Tjahjono Widijanto
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 6 Desember 2015