sejarah rempah dan kisah orang lapar
lada hitam (piper nigrum)
tanpa bumbu, kita barbar, katamu. maka akulah
daging itu, yang terpanggang, jadi arang di tungku
dapur tanah. kau lupa, segala rasa pedas, telah
disepah dari lidah para prajurit romawi, pada abad
ke-5, di sebuah magrib yang raib. dan, aku pun lupa,
aku bukan lagi biji lada hitam yang dapat lekat lebih
lama di lidahmu, malam itu, hingga tak ke bizantium
kukejar biji ketumbar, tapi ke jantungmu aku berla
yar. maka para pelupa, seperti kita, tak layak duduk
setikar. biarlah barbar. dan saling cecap dalam geletar
yang hambar. biarlah barbar. asal kita tahu tubuh
asal; mana yang lebih kekal, rasa pedas lada atau
hitam arang daging panggang.
belimbing wuluh (avverhoa bilimbi)
belimbing wuluh, dan perigi mati, di manakah
gugurnya ingatan tentang rumah di kebun tua itu?
kubawakan saja padamu asamnya, rasa kecup yang
kecut, dan buku resep halaman lima, agar tak lupa
dikau mengeja sunyi yang terhidang di meja makan.
Dengarlah suara derak dari retak lantai, dan gemeretak
kayu api bakau, seperti itulah musim bersijingkat
diam-diam meninggalkan kita. seolah yang boleh
bersuara hanya nyamuk, dan sunyi yang diseret
kaki-kaki pencuri, pergi lewat pintu yang tak dikunci.
seolah, hanya kepada masa lalu saja kita bisa tabah—
atau menyerah. maka seperti sepasang kepiting, kita
menunggu orang lapar memisahkan tubuh dari cangkang.
memisahkan tubuh dari tubuh. Ketika cangkang
dibuang, sejarah daging dibumbui oleh sejarah hidup
orang lapar. irisan tomat, daun kunyit, daun jeruk,
lengkuas yang memar, dan sebatang serai yang patah,
adalah cara kita membuat sejarah baru agar dapat
terus dikenang sebagai rempah di lidah; sebagai asam
pedas. tapi, hanya sebagai asam pedaskah?
kayu manis (cinnamomun verum)
akhirnya, kepada rasa manis juga, lidahmu terpaut.
meski kau tetap berkilah, masih ada pedas di anggur
panas, katamu. tapi kau bukan kasiavera, kataku.
kulitmu telah mengeras, berkerut, sejak terlepas dari
tubuh agama, tercecer dari kitab-kitab mesir kuno,
5000 tahun lampau. kini, mari kita jadi pohon saja, di
tengah kota, dekat kedai kopi yong dollah, di bengkalis.
tercenung saja, di antara rasa sesal orang-orang
yang dikutuk jadi aspal, bahkan jadi masjid, jadi
kelenteng, jadi pelabuhan, yang selalu menyimpan
rasa lapar para perantau, para pencari tuhan. tapi, pohon
apa? nama-nama pohon telah dibakar. anak-anak
hanya tahu bahwa kota-kota telah jadi tempat tinggal
batu. hutan telah jadi tempat tinggal kota-kota. pohon
plastik tak disukai matahari. ya, matahari yang dulu
juga, yang sering kau sebut sebagai payung kuning,
melindungi kita dari bayang-bayang ketakutan, tentang
tuhan. bukan, bukan tentang tuhan, tapi tentang
orang-orang yang menyerupai tuhan, bahkan merasa
lebih dari tuhan. tapi, kenapa kepada rasa manis juga
lidahmu terpaut. rasa manis, yang di saat meresap
ke dalam santan, di saat meresap ke dalam rempah,
kerap membuat kita justru merasa melupakan tuhan.
kayu putih (melaleuca leucadendra)
tuhan itu putih, katamu. warna tubuh kita, juga putih.
tiap pagi mendongak ke langit putih. maka minyak
darah kita pun putih. lalu apakah putih, dapat melupakan
rasa lapar? bisa, lapar tanah asal, katamu.
sebab di manapun tanah bekas terbakar, di seluruh
dataran rendah, bakal menumbuhkan tunas kita sebagai
pohon putih, beraroma putih–aroma dari peluh yang lepuh oleh
kemarau. pernahkah kau mencium
aroma putih? tanyamu. aku hanya tersenyum. aku yang lahir
di hutan bakau, di tanah berawa, di tanah hitam penuh arang
bekas terbakar, hanya mencium aroma hitam–aroma dari
peluh yang lepuh oleh api.
tapi, bukankah kemarau dan api hidup satu rumpun?
tanyamu, lagi. aku hanya diam. mulutku memamah jerebu kata-kata.
hidungku tumbuh di hutan-hutan sawit,
akarnya menyerap udara masa kanak dari
celah paru-paruku yang sempit. sejarah tubuhmu,
bukan sejarah tubuhku, kataku. sejarah orang marah,
adalah juga sejarah orang lapar. lapar aroma putih.
lapar aroma tuhanmu.
cengkeh (syzygium aromaticum)
maka bau nafasmu itu, (selalu) membangkitkan
rasa lapar. apakah kau baru pulang dari maluku?
tanyaku. tidak, aku sedang sakit gigi sejak 416 tahun
lalu. apakah rasa sakit juga membuatmu lapar,
katamu. kepada kretek yang kuhisap, duabelas kali
aku memaki. duabelas kali aku mengucap; dan pada
jam-jam malam begini, kita belum sempat, saling
mengatakan hai pada kematian. tapi yang hidup,
terus menerus, dalam kepalaku adalah portugis, adalah
minyak eugenol yang kau sapu-sapu ke sekujur
pedangku. aku bilang, aku bukan orang jepang. aku
lahir di selat yang dilayari oleh para saudagar dengan
perut lapar. maka, tiap malam, bau nafasmu bukan
bau dupa, tapi bau eropa. bukan bau bumbu, tapi bau
emas. makan sajalah, katamu, yang terhidang hanya
bau tubuh orang lain. tubuh kita, adalah pohon kering
tak berbunga. kepada kretek yang kuhisap, duabelas
kali aku memaki, duabelas kali aku mati.
asam kandis (garcinia xanthochymus)
tapi dalam pantun, kita tetap hidup, sebagai tubuh
yang berkerabat. rasa lapar kita, jadi pohon abadi
yang tak bertanah asal. dan di atas segala yang lembab
jualah kita tegak, sebagai manggis atau sebagai
gelugur, sebagai rasa manis atau buah yang gugur.
kelak, yang kau iris tipis-tipis di atas piring kayu, adalah
rasa malu kita pada tuhan, rasa malu kita pada
matahari–yang mengering-hitamkan irisan tubuhmu,
irisan tubuhku. padahal tak pernah kita menduga,
hidup akan jauh dikenang, dalam rasa lapar. di pucuk
lidah orang-orang yang hanya singgah, sebagai perantau.
meski di pangkal lidah, kita hanya getah yang
kelat, namun di perut, kita masam yang lekat. pun
ketika disepah, segala warna yang kita punya–jingga
pucat, kuning pekat, hijau muda, hijau tua–mengekalkan
rindu masam dalam geletar debar rasa lapar.
hingga kelak, tak lagi kausebut aku barbar. hingga, tak
lagi kau bertanya, mana yang lebih kekal, rasa pedas
lada, atau hitam arang daging panggang.
Pekanbaru, Oktober 2015
Marhalim Zaini, lahir di Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976. Buku puisinya yang ketiga, Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (2013) menerima dua penghargaan: Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 dan Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2013. Dosen Akademi Kesenian Melayu Riau dan Menggerakkan Komunitas Paragraf di Pekanbaru sejak 2005.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Marhalim Zaini
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 20 Desember 2015