Bersama Mata Pagi
Aku mengenalmu sebagai pagi yang matanya ber
pendar ke segala penjuru mataangin, maka aku
lesat bersama awan dan biru langit yang mendebar
emesta: dari mata paling ranum yang kau tawar
kan.
Aku tak ingin berbalut sutera hanya karena aku
seorang wanita, yang pantas jadi primadona lakilaki
pujangga, namun dari sebuah kesetiaanlah aku te
lah terbalut lembut melebihi sutera. Maka, jangan
tanyakan untuk apa aku ada bersama pagi: yang
kau ada di dalam ihwal kesejukan.
Sederhana, aku ingin jadi wanita utuh dengan
keperempuananku dengan menatap pagi yang
matanya menyerap ribuan keteduhan yang padanya
aku nyaman dan terjaga dengan kemurnian yang
pasrah.
Purwokerta, 2015
Merawat Musim
Manakala kita menanyakan, siapakah yang pantas
menjaga pohon ranum dan tanah yang gembur?
Maka, jawaban bagi kita adalah menjawab sendiri
pertanyaan-pertanyaan yang alam sampaikan lewat
air yang mengalir dari hulu ke hilir kaki. Tanpa
kemasygulan yang perlu dipertimbang-timbang
hingga jadikan ranggas pepohon dan retak tanah
terinjak.
Kupu-kupu tampak senang terbang, ke sana kemari
menjulurkan bunganya ke riuh udara yang semilir
kan aroma tanah ke hidung dan hijaukan mata kita.
Ya. Demikianlah kita bersahaja dengan kesederhanaan
semesta dan kearifan tetumbuhan.
Kita berjalan dari pematang yang rintih, namun
darinya ada yang perlu dirawat dengan usia,
dengan peluh yang luruh berkali-kali dari cangkulan
pertama hingga kepada ribuan payah.
Merawat musim, tampaknya hujan kali ini enggan
mengayunkan salam kepergian, tapi tak juga kita
paham dari isyaratnya sekarang.
Dari lubuk kecil tempat dada mengempis udara, kita
akan rasakan, semua musim akan terjaga dengan
hidung yang menghirup kesegaran berkali-kali.
Baseh, 2015
Penjaga Malam
Angin-angin telah berbondong pulang menuju
rumah paling dingin dan sunyi, yakni menuju
rumah paru-paru pepohonan yang tiap hari adalah
bermain-main dengan pendaran dandelion kian
kemari melayang terbang serta kerlip
kunang pada
malam-malam yang pualam.
Bahwa senja telah datang dengan tangan terbuka,
menyambut manis malam yang menghanyutkan
kepedihan seharian mata mata lelah meramu ketenangan
pada tidur pulas.
Para malaikat, silih berganti menjadi penjaga
musim dingin kepada kemarau yang berdaur tak
tentu. Mereka merebahkan diri semacam tawa pada
wajah sedih terlampau dalam, dan mengendapkan
doa-doa bagi netra yang kelopaknya kelam pada
tanda-tanda semesta.
Malam berlalu, sampai kepada malam lagi, penjaga
malam tetaplah sama akan mendoakan sesiapa
yang lupa tanpa ada laknat, kecuali bagi mereka
yang terbuat dari batu dan api, segala amarah
tumpah ruah menjadi sumpah dan serapah.
Purwokerto, 2015
Muhammad Badrun, lahir di Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, 4 Juni 1994. Tinggal di Pondok Pesantren Al Hidayah, Purwokerto. Beberapa puisinya terhimpun dalam antologi bersama Cahaya Tarbiyah (STAIN-Press, 2013), Rodin Memahat Le Penseur (UKM KIAS, 2014), Kampus Hijau (IAIN-Press, 2015), Ode Kampung Halaman (FAM Publishing, 2015).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Muhammad Badrun
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 10 Januari 2016