Kidung Murai – Taman Bungkul – Madura
Kidung Murai
Kicauku yang berderai
berkubang di teluk dadamu yang dalam
Ketika matahari mekar, pagi-pagi mengunig
menghapus dukana mimpimu semalam
Dengarkan kelembutan kidungku
jerit mahasakit yang menjelma sekuntum bunga
kamboja
Yang ditanam dalam jiwamu bermekaran dan
menyemerbakkan aroma kemenangan
duh, Gusti…
dalam kidungku yang parau kusebut nama-Mu
Maka biarkan kusesap keagungan suara Daud
akan kubengkokkan dan kupatahkan pagar-pagar
bambu ini
Sebab kicauku adalah lengking kerinduan
untuk terbang ke langit dan memandang ke luas lautan
Kutub/Yogyakarta, 27 12 2015
Taman Bungkul
Di bawah kibaran sang mahapepohonan
Kau yang mencerna warna-warni kerinduan
Di bangku taman duduk sempoyongan
Kau maknai segala yang dijatuhkan langit
Kau maknai segala yang dilemparkan bumi
Umpama penyair yang selalu ngidam buah puisi
“di taman kota itu, kekasihku
bermacam bentuk keindahan sirna oleh kilau
cahayamu“
suaramu meledak menghancurkan isi jagat raya
kau kupas kulit dingin pada jalan taman
angin pun bergoyang bersama celah-celah
sampai jarum jam tak lagi kuat berputar karena
patah
ditebas ketajaman pedang perasaanmu
yang diasah pada tembok jarak
yang menyusun kerinduanmu
Kutub/Yogyakarta, 28 12 2015
Madura
Bila kusebut namamu sekali
bergelombanglah laut di jiwa
asinlah segala yang pernah kupijak oleh mata
Jarak bukan penggunting terali-terali cinta
dalam hidupmu aku hidup
dalam hidupku engkau hidup
Bagai sepasang sapi lelaki di medan laga
kupacu dan kucambuk jiwaku yang mabuk dengan doa
supaya lesat segala damba sampai ke palung sorga
karena gersang tubuhmu dibajak dengan bismi allah
kupelajari yang asing dan tampak jauh:
padi-padi menjuntai, daun-daun tembakau menghijau,
dan pelepah-pelepah siwalan, dan jari-jemari cemara
udang,
dan keteguhan reranting jati senantiasa tulus melambai
dan mengucap salam kepada yang datang, pun yang
akan pergi menyeberang
di bungkuk punggung bukit-bukit kapur
kubaca ayat-ayat yang diukir dengan pacul
“perjuangan adalah ketabahan
sebab seperti halnya hidup, mati pun butuh
diperjuangkan“
aku becermin ke cakrawala, memandang
burung-burung terbang dan mengembara
kepak sayapnya merobek-robek sisa kenangan kita
di mana asin lautmu yang membuihkan mutiara
adalah makam tempat nasib berlayar
mengantarku ke masa depan
Kutub/Yogyakarta, 27 12 2015
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Mohammad Ali Tsabit
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” Minggu 24 Januari 2016