rangga lawe – arya wiraraja
rangga lawe
ia tahu, pada akhirnya
menjadi raja adalah kutukan menjadi pikun
barangkali, akan ada yang menyalahpahaminya
atau akan ada banyak yang menyalahpahaminya
sewaktu ia, di paseban, berbicara
tentang 27 kuda bima
perjalanan panjang dari sumenep
tarung sengit melawan segara winotan
dan penaklukan kediri
“tak sepucuk alang-alang pun aku mundur
pedangku bermata nyalang dan kerisku bengis
demimu wijaya, demimu”
tapi si raden yang kini telah jadi kertarajasa jayawardhana
membuangnya ke tuban
“tapi aku tidak membuangmu,” kata sang raja
“tapi kau memang membuangku
dan bagaimana bisa seorang satria
dengan peran dalam perang yang terlalu biasa
seperti nambi menjadi amangkubumi”
ia bertanya
adakah yang lebih layak dari sora
tapi kiai perkasa itu terlampau santun
untuk menggugat seorang jelmaan dewa
“jangan permalukan aku lawe, bagaimanapun jangan”
tapi lawe telah membuka baju
menantang nambi dan kebo anabrang
menumpahkan darah, membenamkan parang di dadanya
“pergilah lawe, kembalilah ke tuban
asah pedangmu dan siapkan gelar perangmu
aku akan datang menumpasmu,”
nambi berujar dan anabrang meradang
tapi nambi
tak pernah cukup bisa
memenangkan laga seorang diri
di tuban
nambi kabur dari mati
menuju seberang kali tambak beras
tapi anabrang tahu
dewa kematian berdiam di kedalaman sungai
untuk menjemput lawe
“menjadi pemberontak, lawe
adalah kutukan untuk segera menjadi bangkai”
lawe tak pernah ingin menjadi pemberontak
dan ia juga tak birahi menjadi amangkubumi
ia ingin raja yang tidak pikun
dan dewa menghadiahinya sebuah kematian
dan sebuah kisah yang telanjur diselewengkan
arya wiraraja
banyak widhe, banyak widhe, di mana
akhirnya jatuh si tupai lihai
di mana tamat cerita si kancil pandai
di lumajang, di sebatang dahan panjang
di sebuah liang dalam
setelah tahun-tahun dibentangi linglung agung
setelah tahu hidup hanya memeram sabar
sebelum matang dan menjelma amarah
“sebab bahkan orang suci pun mampu marah”
ia tak tahu seperti apa sejarah mencatatnya
seperti orang-orang tak tahu betapa rapuh hatinya
sewaktu kertanegara mengusirnya ke sumenep
dan bertahun-tahun kemudian
ketika putri dan menantu sang paduka
tiba sebagai orang pelarian
disediakannya segala yang mereka butuhkan: kasur yang hangat,
makanan selezat ia sanggup berikan
dan lebih dari itu semua, sebuah siasat
seseorang bertanya, “bagaimana kau bisa memupus dendam
atau sakit lantaran harga diri yang tercabik?”
selain ia dan jagad dewa batara, barangkali
memang tak ada yang mengerti
“kembalilah ke kediri, nak,” ujarnya pada wijaya
“sebagai satria taklukan
dan mintalah hutan tarik
tempat di mana bisa kau letakkan batu pertama
kerajaanmu sendiri, sejarah agungmu sendiri
dan akan kukelabui armada cina
untuk membantumu mengambil kembali
apa-apa yang telah diambil jayakatwang”
ia sertakan putra tersayangnya
dengan sebuah wejang: tak ada pengawal yang lebih baik dari lawe
dan akan ia tumbalkan nyawanya
sebelum seujung alang-alang menggores betismu, raden
namun sekian tahun kemudian
setelah segala rencana menjadi nyata
ia dapati putranya terbenam di dasar kali tambak beras
dan setiap orang – selain ia, tentu saja – berkata
“lawe sang khianat pertama”
hatinya ngungun dan jiwanya singun
ke lumajang akhirnya ia pergi
berupaya melipur diri
hingga tiba-tiba
orang-orang dari wilwatikta membangun sebuah pagi untuknya
dari darah dan desing pedang
“jangan paksa aku menjadi lelaki tua yang marah, paduka”
wijaya telah lama tak ada
dan jayanegara hanya mengerti cara-cara berlaku cabul
tapi ada seseorang (kelak, orang-orang menyebutnya mahapati)
yang percaya bahwa orang-orang dari masa lalu
tak punya hak hidup di hari kini
bahkan bila mereka tinggal dalam pembuangan
“marahlah sebelum pedangku meminum darahmu, banyak widhe,
seperti lawe, seperti sora, seperti nambi”