Stasiun Schiphol
menunggu kereta tiba
di schiphol bawah tanah
rotterdam tak terbayang
usai musim gugur
ingin merangkulmu
6.11.2015
Rotterdam yang Dingin
turun dari kereta intercity
di rotterdam yang dingin
aku bersijingkat meski
tak mampu menghindari
dingin dalam gerimis itu
tubuhku bagai beku dalam
11 derajat, engkau hanya
memberi kunci (apartemen)
lalu pergi. “bukalah, rumah yang
selalu tak dingin,” katamu
karel doormanstrat bersebelah
dengan kasino, aku pun menapaki
tangga setelah lift mengurungku
: seakan ingin membakar tubuhku
sebuah kota tua, pelabuhan terbesar
di dunia: rotterdam membasuhku
dengan gigilnya
betapa, tibatiba aku merindukannya,
perempuan yang memelukku pada
malammalam ketika aku kedinginan
sungguh, aku begitu rindu
bukan kepada salju
dan sekeping roti berlumur sayur
dan mentega…
Rtdm 6 November 2015
Menikmati Kopi Lampung
segelas kopi mengepul pagi ini
menari dalam gumul kabut
di pucuk gedunggedung
di suatu sudut kota tua
tanpa kau. tiada senyum juga
celotehmu; sebelum laut
melompati dam
memaksaku berenang
kuhirup berkalikali kopi
yang kubawa dari kebun tamong
seperti juga permah diangkut
para.pedagang eropa
beratus tahun silam
ditumpuk bersama rempahrempah
kuhirup tapi bukan lagi
sebagai anak duli
yang meringis di bawah kaki
7.11.2015
Karel Doormanstraat
: bersama Asjone Martin Sikumbang
langit seperti luruh dan kuingin
tangkap kabut putih yang diam
di kelopak mataku. serupa kapas
dingin di tubuh. ada getar meski
tak bisa kuraba maut yang tiba
di jalan karel doorman ini
aku menghimpun kata tapi tak
juga tersusun namaku
betapa sulit menyusun kalimat
dalam gigil ini, selain curiga
dan benci. tanah air yang kurindu
serasa cepat lesap. namanama
kawan menjelma jadi lawan. pisau
tumbuh di manamana, bagai burung
terbang bebas: menajam mata
amat merah. — kau penujum suci
kini jadi penujah. menubuhkan
amarah –
silangkata, warna jalan berdarah. kau
menulis pisau dan luka. kuantar perban
membalut dendam, menutup mata
pisau. “jadilah tunanetra. gelap semesta,
benderang di hati!” kalimat itu
sebagai pembuka,
mula meniti. setatap kita. di mata
meluap embun
8 Nov 2015
Mencintai Malam
ada yang tak terucap: pesona
lalu kuburu setiap pasirpasir
yang bergerak oleh ombak
merekam tiap denyut
ada getar tak terkatakan: cinta
kucari hingga pantaipantai di sini —
pasir bogak, teluk nipah, dan…–
kau tumbuh di taman
dalam senandung lagu
dan irama puisi
di arena pangkor kita jadi penyair
mencintai malam yang rebah
di sini, kau lagukan rindu
aku rekam dalam syair rindu
selalu ingin kembali
ingin pulang ke pangkor
2014-2015
Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang, 5 Juni 1958
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Isbedy Stiawan ZS
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” Minggu 14 Februari 2016