Di Depan Stasiun Lempuyangan – Memandang Keraton, Sehabis Senja – Alun-Alun Utara – Alun-Alun Selatan – Kota yang Hilang
Di Depan Stasiun Lempuyangan
Di depan Stasiun Lempuyangan
lelaki itu melihat senja datang
bersama lengking kereta api
lalu dari balik pagar ia menemukan
wajahnya di dalam gerbong kereta
Di depan Stasiun Lempuyangan
lelaki itu meminta senja
membujuk wajahnya
agar tak ikut bersama kereta
menuju ke stasiun lain
yang tak tahu entah di mana
Di depan Stasiun Lempuyangan
lelaki itu memutuskan
tak lagi pergi ke stasiun
berikutnya
Jogja, 2015
Memandang Keraton, Sehabis Senja
Dari balik rimbun daun pohon beringin kurung
yang setia menjaga, dari masa ke masa
senja turun di atas bangunan tua
saksi sejarah perjalanan bangsa
Dari balik rimbun daun, senja meluruh
di atas Keraton Yogya
lalu malam berbaur dengan cahaya
berbagi sinar terang
ke Alun-alun, pepohonan, wajah-wajah
juga tembok-tembok kota
dan jalan-jalan
yang tak pernah diam
Dari balik rimbun daun, sehabis senja
ada cahaya di Keraton Yogya
berbagi kata
dan rahasia
Jogja, 2015
Alun-Alun Utara
rumput-rumput lunglai
ditimpa pasir-pasir
dan kaki-kaki pengelana
tak pernah lelah mengembara
menjelang senja
angin menderu
daun-daun Ringin Kurung
meluruh kelu
ada suara gamelan
mengalun pelan
menembus tembok
keraton
ada pengemudi becak
di depan masjid besar
gelisah menunggu
penumpang
penjual makanan
di barat jalan
berharap Sekaten
segera datang
lalu, ada suara adzan
mengalun lantang
melintasi Alun-alun Utara
meneyeruak ke tengah kota
sehabis senja
seusai magrib
Alun-alun Utara
ditenggelamkan malam
dan, kau ke mana
membawa kelan?
Jogja, 2015
Alun-Alun Selatan
Di Alun-alun Selatan, seperti ada yang keluar
dari balik tembok benteng keraton
lalu menyanyikan dandanggulo
tapi tak ada yang peduli
orang-orang sibuk
bernyanyi sendiri
Seorang lelaki muda mengajak kekasihnya
mendekat ke Sasono Hinggil
tapi sang kekasih bilang: “Aku lebih suka
di sini, naik becak wisata
seraya mencari tahu
rahasia senja.”
Di Alun-alun Selatan, seperti ada yang keluar
dari balik tembok benteng keraton
lalu terbang mengudara
orang-orang tetap tertawa
tak ada yang merasa
kehilangan apa-apa
Jogja, 2015
Kota yang Hilang
tak ada lagi yang menyebut namanya
bahkan hanya untuk sekadar mengenang
kota itu benar-benar telah hilang
lenyap dari perbincangan
juga tanya
tak ada yang peduli ke mana kota itu pergi
tak seorang pun merasa kehilangan
tak seorang juga berusaha mencari
semua asyik dengan diri sendiri
bergelut angan dan mimpi
tak ada lagi yang menyebut namanya
tak ada lagi mengingat wajahnya
bahkan tak ada yang sempat mencatatnya
sekalipun di buku-buku tua
tak ada lagi yang menyebut namanya
kota itu benar-benar hilang
sia-sia
Jogja, 2015
Sutirman Eka Ardhana lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Jogjakarta. Karya-karyanya antara lain novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005), Sang Pramuria (Hanindita, 2005), Maaf Aku Terpaksa Jadi Pelacur (EDSA Mahkota, 2005), kumpulan cerpen Langit Biru Bengkalis (2010), kumpulan puisi Risau (Pabrik Tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979). Puisi-puisinya terhimpun dalam sejumlah antologi puisi.
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Jawa Pos” Minggu 13 Maret 2016