Kidung Ojhung Musim Kering – Katak Pemikul Bawang
Kidung Ojhung Musim Kering
Di bawah langit Topote, kau sedang bertarung
hendak memanggil nama-nama hujan
memanggil tuhan, dengan doa kekar juga luhur
sebab bertarung dengan topeng dan seikat rotan berpilin
adalah caramu berdoa, merayu langit kisruh
agar tanah menjadi basah
awan-awan itu berarak mendekati kampungmu
yang lengang dan perawan
(seperti anak-anak yang bermain dan hendak pulang
karena petang menghalangi
bayang pandang mereka yang bimbang
karena hujan hendak turun di jembatan).
kau tak seperti pecundang, yang biasa berpaling
ketika sapi-sapi tetanggamu menghilang
kau petarung ulung, jantung bagi orang kampung
mereka akan bahagia, jika kau berhasil
berkaul untuk sejumlah sawah dan sejumlah
tanah kudus, barangkali rumah kekasihmu
yang tiga-tahun lalu, menghianatimu
dengan sahabatmu sendiri
itulah sebabnya kenapa kau tiba-tiba memilih
menjadi petarung ulung, yang digemari banyak orang
panggillah hujan, seperti kau memanggil tuhan
kata nenek tua, yang biasa memberimu bingkisan
semasa kau belum masuk SD.
kau memegang teguh petuah itu
hingga suatu kali, orang-orang linglung
karena hujan tak jua datang mengepung kampung
orang-orang membutuhkan lenganmu
seperti Empu Kelleng membutuhkan lengan Joko Tole
menyepuh benteng gerbang Majapahit agar kuat
dan kelincahamu sebagai petarung musim kering
tak tertandingi maling dan bajing.
orang-orang menjadi girang karena petang
akan diusir si petarung ulung dengan lantang
(dan kekar tubuhmu yang mekar
membakar langit kincir dengan kasar dan gusar)
duh lamur, seribu cibir telah menampar
wajahmu yang getir akan doa pandir seorang
pendekar
dari timur pesisir yang mashur akan sindir
Kutub-Sumenep, 2016
Katak Pemikul Bawang
Petunjuk adalah benih cahaya tanpa lampu dari
tungku
mereka yang menemukan kerdip dalam dzikir pada
kuburan si Agung
akan mendapati wajah-wajah mereka lebih subur
dari sumbu cahaya mana pun
Kebanyakan dari mereka adalah menemukan lahan
kosong
dunia yang gatal dengan suara tumbuh pada telinga
mereka
mereka hendak menjadi pertapa beberapa saat
sebelum pagi
tak ada kesungguhan dari lidah harimau mereka
Mereka hanya akan mendekati keheningan ketika hidup
benar-benar hendak mengkail leher mereka dengan
jangkar perahu
mereka tak akan menemukan senyum atau lentik
jemari suci si Agung
sedang memberi sesuatu pada tadah tangan mereka
yang dungu
Pun mereka tak akan menemukan katak pemikul
bawang
atau si raja ular bersisik emas pada gaib akar pohon
hendak menelurkan cahaya pada lengan mereka
mereka selalu tidak sungguh-sungguh tenggelam
pada kegelapan
Lengan mereka patah dan mereka menyerah
pada seratus rayu si bangsat hantu
mereka memilih menyingkir dari tapa bisu dan tak
kembali
mencumbu sepi malam itu
Sumenep, 2016
Saifa Abidillah, masih tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga dan aktif mengelola LSKY (Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta). Tulisan-tulisannya pernah terkumpul dalam antologi bersama, antara lain, Narasi Mendung dalam Tarian Hujan (2009), Bersepeda ke Bulan (2014), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (2015), Nun (2015), Negeri Laut (2015), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016).