Antipode
aku berada pada agunan
mengharu janji menanar bisik
aku berdua di antara ayunan
mengira kembang mengikutiku
aku bercinta dengan marcapada
mengadu dalam bungkusan
nyanyian-nyanyian raga
yang papa
aku merah delima
yang garang kecewa
kerumuni sebab
aku cinta dan bara
piara-piara mimpi
yang kabur
Sruni, 2016
Sabatikal Penyair
sepasang matanya merangkai peristiwa
menukar bayangan ngemasi indra
gerutu haluan jam
menagih takut dan emis
sepasang matanya mengadu raga
gelak berpadu pesona cuaca
menari libido menuju rak
lusuh kian kesah
sepasang kalbunya menuding huruf
lamunan-lamunan rupa berjiwa
yang nyangga sampai toga
sepasang relungnya berpapas sendu
mengenang jiwa suatu hari
Sruni, 2016
Memorabilia
daun-daun merayap di sepanjang awan
kalbu mengais junjungan kota
liar di jalan dan waktu yang lekat
mempertemu rindu yang tersulam
tirai-tirai dalam ayunan
gontai yang mengada rasa
dan polusi yang melangkah di dekat rel
mengundi makna jemari dan pesona bumi yang
terpatri
sampai kemudi
menyilah atas nama hasrat dan libido
tirai meruak berbareng tulisan dan kenang kala itu
waktu yang pagu membuta temu dan gerai-gerai
yang hilang
menyingsing kuat raga
serta nyanyian-nyanyiannya
umpatan dan puisi merunduk sampai tanah
terhempas alih-alih makna
kisah bangunan tua yang merujuk anggun
lagu penyamun harap yang gugur
Sruni, 2016
Singgih Dwi Husanda. Lahir di Sidoarjo, 2 September 1994. Mahasiswa semester 6, jurusan sosiologi, FISIP, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Seni Amukti Wijaya. Buku puisi pertamanya Dalam Buai (Pagan Pres, 2015).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Singgih Dwi Husanda
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” edisi Minggu 17 April 2016