Giang, Surat Itu – Metamorphose Ikan
Giang, Surat Itu
rimbun
pohon bambu di akar-akar bakau menjadi napas
Dalam jejak-jejak langkah yang sembunyi
Di pinggiran sungai-sungai
Yang memanjang berlikuliku, dengan air coklat
Mengalir sampai muara, ketika ombak tidak sampai
Pada perahu kayu yang oleng, membawa tubuh kecil
Dengan tangan letih, gemercik kayuh membawa sauh
Hulu ke arah hilir, dan matamu seperti
Warna matahari yang terbelah di sela-sela daun
Bergoyang dimainkan arus yang tiba-tiba berputar
Dan kau terperangah oleh suara-suara cericit burung
Yang terbang memintas garis langit, di kaki laut
Tak pernah tercatat, dan tak selalu disebut
Sungai itu adalah kelahiran-mu.
2//
Giang, menuju hilir kita mengayuh surat itu
Di antara orang-orang yang duduk di perahu satu
satu Kaki-kakinya membagi ruang, dan arus waktu
Mengalir menyusuri tubuh sungai yang pucat dan
kotor
Mencari napas di lalu lalang perahu yang bergoyang
Tak akan karam, katamu. Karena surat itu adalah
Kehidupan yang selalu ditulis dan dibaca sebagai
Kitab perjalanan yang tak pernah tamat-tamat
Tapi kau selalu tersenyum
Membuka kembali surat-surat yang ada di mata-mu
Sebagai cerita yang panjang untuk istri
Yang menunggu di rumah: berbagi senyap dan hati
Untuk berlayar dengan perahu yang tua
Sebelum surat-mu selesai, dan kau masukan dalam
kenangan.
3//
Jangan lupa kau tutup pintu dalam surat itu, Giang
Karena rumah-mu adalah kenangan
Yang selalu kau bawa dalam tas yang kau sandangå
Selalu kau menulis di daun-daun kelapa,
yang bergayut
Sebagai helai dan halaman kitab,
yang tak pernah luput
Untuk berbicara dalam bahasa yang kau pahami
Di atas garis langit, seperti tergambar matahari
Angin yang berdesir, dan sebuah senja
Yang nanti akan menjadi buahbagi anak-anakmu
Sebelum waktu menutup kelambu, di mana
Kau selalu berbaring, bergelinjang dengan napas
istrimu
Ketika anak-anak bermain di bawah pohon, yang
daun-daunnya
Memerah dan menguning dibawah semburat cahaya
Di tanah yang basah dan merekah: dan kau masih
menulis
Metamorphose Ikan
Ikan-ikan yang berloncatan di antara karang
Sekarang diam dalam kaleng sardencis
Kau menatapnya,
tanpa ekspresi: hanya kelopak mata
Jauh berjarak membuka langit senja
“Mari kita makan.“ Katamu.
Dan pisau dan garpu
Berlayar dalam laut, warna merah yang bergairah
Aku pernah membayangkan ini: kita lagi menjaring
Bersama nelayan ketika matahari merah
Di ujung waktu
Dan anak-anak laut menyebut musim yang lelah
Tak ada lagi
Semuanya kita mulai: bersantap tanpa kata
Ikan-ikan yang berloncatan
Dalam masa silam
Kehidupan