Hikayat Para Blandong – Sebuah Peristiwa – Lukisan
Hikayat Para Blandong
humus gambut itu telah memahatkan jejak-jejak
telapak-telapak kaki telanjang para lelaki
pundak-pundaknya bertato hitam
berkulit merah semerah daun jati
memanggul kapak di bahu
legenda itu menyebutnya pewaris rama parasu
siulnya melingkari malam merambahi sulur-sulur
matanya bersekutu kunang-kunang menguak
pekatnya malam
sehitam letek kopi yang diteguknya saban pagi
bergegas dari batas ke rimbun sembunyi dari
tatap mata burung
berebut sangkar di dahan atau ranting
engkau yang menjulang langit adalah perem
puanku, di perutmu kupahat jari-jari
konon mereka mewarisi kutukan sejak kelahiran
segala rimba
menetak batang demi batang tak terbatas
bilangan
tiap tetap terakhir membuat darah lelaki menyu
ngai luap-luap
giliran siapa kutebas penggal?
saat batang terakhir berkabarlah sang nasib:
ìkejemuan itulah sang pemenangnya
mencampakkan engkau dalam liang kubur waktu
di dalamnya tak ada siang dan malam, namun
membuat
matamu perih dan kabur! :
Sebuah Peristiwa
kun fayakun;
peristiwa itu menjadi sebuah tanda tanya
cuaca meleleh jadi sepotong es krim
gaun perempuan-perempuan itu copot sendiri
celana dalam para lelaki mlorot tiba-tiba
mereka pun jadi gemetar
bertukar gaun dengan celana dalam
maka terjadilah:
mereka sibuk saling jilati luka sendiri!
Lukisan (1)
: pelukis susetya
garis itu rahasia hasrat yang meleleh-leleh
kau biarkan meluap menjadi beratus sungai
warna
kelenjar syahwat yang meletup-letup mendesak
waktu
gairah apa lagi ini, begitu penuh tenung pesona?
hasrat itu masih juga meleleh-leleh
jadi tukang sihir memantrai malam
lukisan itu masih saja menyimpan birahi
Lukisan (2)
dingin itu kau warnakan
di tubuh-tubuh pucat perempuan
berparfum bunga kenanga
atas nama: pesona
senja kau kabarkan
sebagai rambut perawan purba
menunggu dentang lonceng pernikahan
tubuh-tubuh pucat itu
lengkap air mata
tengadah pada ubur-ubur sunyi
jendela waktu yang lalai
rapuh di makan ngengat
elan terbenam di muara utara
Lukisan (3)
warna di kanvas itu cermin yang dahulu
memantulkan wajah siang yang lama sirna
dalam ingatan
warna di kanvas itu adalah sihir langit di kelam
malam
namun, bulan telah sungsang terbenam di kali
langit adalah gelap yang mengekal
memaksa kita jadi brutus
khianat yang takut berkaca di cermin sendiri
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” edisi Minggu, 3 April 2016