Riak dan Menjejaklah – Padamu Kubisikkan Sesuatu – Aku Sedang Tak Nafsu Nulis Puisi
Riak dan Menjejaklah
dinipagi jengah melangkah
harihari kian lelah
mimpimimpi tambah kalah
maka
bebas dan lepaslah
sebab tak selamanya
langit mengabarkan duka dan luka
riak dan menjejaklah
sebab tak seterusnya
hidup menelurkan peluh dan keluh
genggam erat semangat
peluk mesra gembira
pada segala harapan dan perjuangan itu
: selamat datang
170216 | 0:51
Padamu Kubisikkan Sesuatu
serupa anakanak menggugu mainan baru
lena kita tapaki dengan setia
riuh yang begitu menyeluruh
riang yang lamalama menyerang
dan jamurjamur makin melebur di ketiak negeri
oleh kita yang terlampau mudah latah
oleh segala musik dan goyang berstyle itu
maka padamu kubisikkan sesuatu
: sempurna sudah kita menjadi piatu
081013
Negeri Sunyi
aku merindu deru
datang dari pasang legammu
pandang yang lama telah dilupa sapa
aku merindu deru
datang dari terbit sabitmu
percakapan yang lama sudah menemu buntu
sebab telinga jelma kekinian
dimana tiada jadi biasa
olehsebab dunia begitu surga,
di jemarimu yang lebih letih melangkah
di pematang qwerty dan layar sentuh itu
061013
Aku Sedang Tak Nafsu Nulis Puisi
i
dunia terlampau penyair
duka telanjur berair
ii
sebab kau yang lebih dulu terbit
dan matahari yang terlalu sibuk di sebelah barat
sebab sembap yang lebih dulu berkarat
dikubur padam dan ruam ruam padah
aku sedang tak nafsu nulis puisi
mbaringkan tetiap sajak
dalam jejak tetiap trotoar
sementara ruparupanya
perjalanan kita memang hanya sebentar
sudahi kecemasan perihal hari yang berlubang
sebelum segala njelma santapanmu
hingga jengah hingga lelah
hingga kalah
hingga kau seketika itu,
aku
230316 | 18:50
Februari Lengkap Sudah
Februari. Hujan lebih dini. Meninabobo sepi yang kelewat
sunyi. Malam masih menyisakan helanya di mesin mesin
pencari. Berharap ada namamu yang muncul dalam layar
monitor itu. berlompatan di tiap jemari dan gigil abjad
abjad. Sore telah mendaki paginya yang paling purba.
Selengkap aku melelapi tubuhmu dalam utopis-romantis
berpeluk picis. Ah, kita tak ubahnya sepasang penari.
Berputar, melingkar, meliuk diri.
Sudahkah kau amini percakapan kita dini tadi. tepat ketika
lampu-lampu beranda telah menanam sunyi pada krik-krik
jangkerik. Ah, sunyi ini menjadi milik sesiapa saja, bukan.
Seketika kita begitu lihai memintal sulam. Menenun tekun
yang teramat sangat. Sementara kesenian, aksi, dan
underbow-nya masih saja panas di lidah kita. Haha, ten
goklah. Bukankah kita telah menapaki purba yang teramat
dalam. Dinding dinding paling palung. Meneriakkan narasi
narasi besar pada ruang orasi bernama diskusi. Menadi
betah pada panggung panggung dan sorot lampu. Di
kanan-kiri beragam banner bertuliskan kemanusiaan men
gudara dengan jumawa. Duh!
Buah apa lagi yang kau makan itu.
120215