Kata Sebuah Sikat Kloset – Baris Temparamen I – Bertemu Asrizal Nur – Baris Temparamen II
Kata Sebuah Sikat Kloset
Lebih enak menjadi sikat yang belum dibeli
meskipun dipampang dengan harga yang
tak layak.tak digiring menuju meja kasir
seperti menghadapi pengadilan tanpa pengacara.
sebab manusia menciptakanku
setelah ada bau dari kamar mandi
dan menyalahkanku atas semua yang terjadi.
seandainya aku bisa bersembunyi
di sudut rak-rak paling dalam
yang tak terlihat oleh siapa pun.
seandainya aku bisa berubah
menjadi pakaian, sepatu atau telepon cerdas.
yang bisa dipamerkan ke teman-temanmu.
atau setidaknya, gantilah namaku
dengan sebutan yang setara dengan jabatanmu
agar tak digiring menuju meja kasir
seperti menghadapi tiang gantungan
tanpa seseorang yang dicinta.
2016
Baris Temparamen I
Aku biarkan puisiku mengembara dari dalam rimba
yang hangus sampai ke kota tak bercelah. Dia tahu
kapan kembali. Setelah mengumpulkan benih dari b
anyak tempat dia akan berkebun di atas meja.
menanam aku di sana. kemudian merayuku bercinta
di antara rimbun pohon anggur, jeruk, apel. di antara
semak-semak kata yang dibentangkannya juga
untukmu. dan terciptalah dunia baru di rumah kita.
sampai dia pun meniru caraku menghabiskan waktu
merenung di beranda. melihatmu dan pohon. yang
selalu ingin dipanjat. yang selalu ingin digigit. pada
saat berbuah lebat dan legit. dan setelah itu. aku
biarkan puisiku kembali mengembara. biar hatimu
terjaga.
2016
Bertemu Asrizal Nur
Kami berjabat tangan
dan diam-diam membuat rencana
memadamkan asap di langit Sumatera.
gerimis dan percakapan melantun
ke buku pantun orang pulau seberang
tapi sembahyang kami terlanjur tinggal
tanpa bisa dikejar. oleh waktu.
kami sepasang puisi yang berjalan
ke arah Gambir
Monumen Nasional
sampai Galeri Nasional
melawan arus malam orang Jakarta.
dan terus terbayang, katamu
“sembahyang tak boleh tinggal
meski dalam ganas pertarungan.“
tapi kami agaknya beda jalan
meski sama-sama ingin memadamkan asap
di langit Sumatera yang tiap tahun
terlalu kelam.
2016
Baris Temparamen II
Puisiku sedang sakit kepala. Obatnya jika politikus
berhenti bertingkah. Puisiku butuh tidur seperti
mereka di kursi rapat dewan. Membiarkan anggaran
diserahkan pada mimpi indah anak mereka yang
ingin sekolah ke eropa, yang cuma belajar menjadi
seperti mereka. Puisiku sedang sakit kepala. Melihat
mereka membuat macet dan memencet klakson
sekuat tenaga dari dalam kepalaku. Kemudian
nongkrong di sana, tertawa dan gembira, sampai tak
sadar bahwa orang Sumatera kadang tak menghirup
udara. Seandainya ada yang berkenan menolong.
Puisiku benar-benar sedang sakit kepala. Belum ada resepnya selain jatuh cinta, tanpa merasa kecewa seperti biasanya.
2016
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Alpha Hambaly
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” edisi Minggu, 29 Mei 2016