Daksina – Legenda Dusun Orong Naga Sari – Saat Rasa Itu Datang – Ku Lihat Cinta Kita
Daksina
ia serupa bunga tujuh rupa
yang tergenang pada canang baja.
saat memotong rambut api milik bayi
ia serupa bedak langeh dan beras pati
juga segenggam kepeng logam
yang kelak dibagi pada kiyai
sebagai cacar rambu.
juga sebagai buak bulu
ialah uang pertama
saat si kecil ingin belanja
harus diambilkan dari daksina.
Tanjung, 2015
Legenda Dusun Orong Naga Sari
semula ia adalah goa milik naga
yang dantang dengan sayap mengepak di
angkasa
karena luka ia jatuh pada lembah
karena waktu ia mati dan di jarah
seorang mangku pada ritualnya
didatangi seorang putri berkain sutra
layaknya permaisuri raja-raja
ia datang dengan wajah bimbang
meminta mangku memasang sesaji berupa kem
bang
pada sebuah lubang dimana suaminya telah
hilang
saat petang mangku berkunjung
pada orangorang berwajah murung
karena hujan tak juga kunjung
ia berpesan dengan bijaksana
” hendaklah kita menyuguhkan bunga tujuh rupa
pada lembah dimana leluhur kita mengambil
sisik naga
dengan begitu kemarau berakhir karena hujan
akan tiba
dan air kelak akan mengalir dari mulut goa”
bunga tujuh rupa telah dihidangkan
maka sehari setelah ritual dilaksanakan
air menyembur dari mulut goa naga
orang-orang desa teriak bahagia
seorang dalam mimpi
didatangi seorang putri membisiki
”kelak namakanlah tanah ini
orong naga sari.”
Tanjung, 2015
Orong Naga Sari adalah nama sebuah dusun di desa Sokong kecamatan Tanjung- Kabupaten Lombok Utara.
Saat Rasa Itu Datang
saat rasa itu datang
aku seperti perahu tanpa jangkar
dan waktu memaksaku karam.
pada reranting cemara burungburung urung ter
bang
karena angin terlalu kencang
hingga ingin tak dapat dilepaskan.
saat malam, kabut menutup mecusuar
menghilangkan jejak pada samudra
aku lelah. hilang arah.
Tanjung, 2015
Ku Lihat Cinta Kita
kulihat cinta kita berjalan dalam malam
laju kendara meraja mengibas seperti kertas ia
terhempas
melayanglayang tanpa bayang
kita terhenti dengan tangan bergenggaman
kali ini kita harus pandai membagi hati
karena jalan di depan makin bersimpangan
ah betapa suram ini malam betapa suram masa depan.
barangkali kita diam saja
membiarkan waktu menghakimi
biarpun dalam luka
setidaknya kita bisa bersama.
Tanjung, 2015
