Malam Minggu di Jalan Braga
kering tak berdaya ke jalanan. Bulan
di kamar malam, ketawa di hasrat dendam.
Aku dan kekasihku berjalan-jalan
di trotoar Braga yang renta dirundung kalut;
Jinakkan racun kangen yang khusyuk berkelindan
di badan, di dalam asmara yang sungkan,
dalam debar angin, baris pepohonan;
kadang perih, menikam, kadang kedinginan.
“Seperti di Eropa ya?” ujarnya
setelah pandangannya bergerak merayap
keliling dengan mata yang daun akasia
perahu. Jalan membentang warna merkuri,
harimau-harimau dikurung sorot lampu,
menjinakkan kebekuan di bangku-bangku.
Lukisan-lukisan ingin bercerita, tapi
jarang yang ingin mendengar. Cerita
tumbuh di meja-meja bar bertaplakkan
degup jantung laki-laki kesepian
di pojok bar, ditawari seorang wanita
penjual rokok untuk membeli rokok
Orang-orang terus berjalan-berlintas-
lintasan, menyerahkan kecut diri
kepada malam yang terang benderang.
Kami masih menyusuri jalan ini,
menyiram bunga yang hampir layu di sini,
di dada, kemudian membuka pintu-
pintu kesayangan yang tak kunjung rapuh,
dalam rasa kecut ini. Beberapa
mulut toko menganga seperti bibir
Rolling Stones. Berusaha menenggelamkan
suara kami. Berbahagia dalam sengal,
mungkin itulah moto saat ini.
Kami memindahkan malam ke dalam
video di telepon genggam. Menjebak
masa lalu butuh alat, tapi kami tak
hanya menangkap diri kami sendiri.
Kami juga memindahkan jalan ini
ke dalam beberapa jepretan foto
di kamera telepon genggam. Mungkin tak
semua wajah menyiratkan kehangatan
yang tak hendak runtuh. Orang-orang itu,
dibalut pakaian slogan ‘anti mapan.’
pengamen, pelukis-pelukis yang menunggu
sesuatu, tapi yang ditunggu tak kunjung
datang. Ada bayangan surga tapi
tak mampu diraihnya. Belaian angin
di rambutnya, sebatang rokok obati
dingin atau pelukan atau percakapan.
Seseorang di seberang sana tak henti-
hentinya menyemburkan asap rokok,
seakan-akan dapat menumpas malam.
Kami duduk di bangku yang disediakan
Kota untuk penghujung. Ia bertanya
dengan nada datar, “Sepertinya kota
hendak memisahkan kita
dengan diri kita?”
aku diam saja. Seorang pengamaen
menghampiri, dengan gaya rambut
anti kemapanan. Pandangan
matanya berat-keruh, bersikeras
melawan kantuk. Ia menyanyikan lagu
sebuah band terkenal dari luar negeri.
“Time of Your Life.”
2015
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Agit Yogi Subandi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Pikiran Rakyat” Minggu 3 Juli 2016