Pohon Alpukat – Pertarungan di Laut – Pohon Alpukat
Tentang Tuan Eksil
Kelasi lata, kelasi hina
kami diam di kamar kelas tiga
jangan ketuk! pintu terbuka saja
terkangkang ke luas pandnag
bebas masuk
kau angin buruk
buat aku mabuk
kami meringkuk
di kamar kelas tiga
dagang celaka
dari tanah koloni
pahit napas bumi
“dengan perjalanan jauh
aku merasa jenuh.”
sebentar lagi, sebentar lagi
akan kau temui, kakanda!
– semenanjung Hadramaut
kota tanah tumpah darah
jihin gurun jihin lembah
hantu laut hantu samudra
dari kitab segala wangsa
tapi aku sedang tidak butuh agama
aku perlu kafe dan sbeungkus sigaret
untuk mengusir melankolia
yang datang begitu saja
tentang tanah asal
ombaknya hebat
pantainya jingga
kabut kelebat
“adakah kau punya kenalan di darat?”
hanya seorang pialang, engku
yang terlilit hutang
o, celaka dagang
di kamar kelas tiga
kau amuk bala!
Pertarungan di Laut
Menyeberangi selat
ombak tinggi berdinding
apa yang ada padamu
akan tumpah ke laut
sejak semula
kami miskin-papa
badai maha kaya
kamu ingat ibu-bapak?
ombak tinggi berdinding
ingatan lepas-terpelanting
menyeberangi selat
sempit ini hanya
bagai menyeberang
samudra ke samudra
hati kamu kecut-beku
bibir terkatup biru-hitam?
kami bersorak riang, tau!
bagai kuda di gelanggang
“hora,hora, hora!”
ombak makin tinggi jua…
Pohon Alpukat
Langit putih
kabut putih
pohon alpukat di tebing lembah
buahnya lebat tergantung-gantung
bagai bohlam di dada gadis-dara
di bawahnya anak kerbau tidur
dengan emak yang insomnia
dalam satu kubangan lumpur hitam dari Merapi
yang kini baru pingsan, tetapi ketika terjaga nanti?
kamu pasang mata awas
seperti akan datang wabah
beriberi atau kaki gajah
batuk hitam dan rabu basah
pohon alpukat yang menahan laju hujan
berayun-ayun dlaam langit putih kabut putih
daun-daunnya telah rontok semua
ranting-rantingnya ranggas kelabu
di bawahnya ada pondok
dan sepetak ladang
arit yang terselip pada dinding
dan pacul dengan sisa tanah kemarin petang
kamu pasang mata awas
seperti akan datang…
semacam revolusi
yang meledak lagi!
tapi langit putih sempurna
kabut menggayut bagai buta mata.
[1] Disalin dari karya Deddy Arsya