Yogya-Jakarta – Gerbong 274-A4 – Langkah Pejalan – Nikah Cahaya – Pesta Ulang Tahun – Di Atas Nisan Ibu
Yogya-Jakarta
: Iman Budhi Santosa
Di atas kereta
kita menuju stasiun yang sama
melintasi waktu dan kota-kota
meninggalkan senja
percakapan demi percakapan seperti derit roda
yang mengantarkan tubuh kita dari Yogya ke
Jakarta
Hidup tak selempang rel, ternyata
dan kenangan tak sekadar bayangan rumah
yang tertinggal di belakang sana
tertimbun malam begitu saja
Di Stasiun Senen jam masih terlalu dini
sebab segelas kopi tak cukup mengakhiri
pertanyaan ini
Seusai perjalanan pulang dan pergi
apakah kita sudah menemukan
segala yang hakiki?
Gerbong 274-A4
Di gerbong ini, aku seorang penumpang
yang mengikuti perjalanan
menuju stasiun penghabisan
seperti laiknya seorang makmum
yang mengikuti gerak imam
Sepasang rel adalah keyakinan
bahwa segalanya akan sampai pada tujuan
dan derit puluhan roda
serupa doa-doa
yang bergerak meninggalkan dosa
sebagai bayangan kota di belakang sana
Langkah Pejalan
Kumasuki malam
dan mengira cahaya semata bintang
yang pijar di kegelapan
lupa, pijar doa
adalah cahaya segala cahaya
bahkan bagi si buta
Berjalan tanpa mata
ke mana pun sampai juga
sebab sejukur tubuh
:
cahaya itu ada
Jalan-jalan di Sawah
Di musim panen ini
hanya ibu yang sejak dulu jadi juru semai
penebar benih di mata anak-anak
dan menjaga agar tak terinjak-injak
Katanya, hidup itu harus tegak
paham akan cuaca
jadi pelajaran pertama
menyiasati serangan hama
Ketika aku bertanya berapa untungnya
dan untuk apa hasil penjualannya
jawabannya hanay menunjuk dada
sebab hanya doa
yang kelak masih bisa diterima
Nikah Cahaya
Menempuh perjalanan ribuan tahun cahaya
cinta melewati tujuh lapis langit
duduk berdampingan di pelaminan jiwa
tanpa api, tanpa bara
Hanya daun, hanya remang senja, hanya sunyi
zikir bersama mengamalkan sakral udara
tanpa kalungan bunga tanpa pesta
Di sini hanya huruf-huruf cahaya
khusyuk dibaca mata
tanpa suara
tanpa suara
Dan malaikat yang mengantar ke atas sana!
Pesta Ulang Tahun
Kue ini mirip menara waktu
berdiri menjulang di bulan-bulan tertentu
dari atas sana ada sepasang mata malaikat
menatap gerak-gerik pesta
yang terlukis di gelas-gelas tak berwarna
Dari tuts-tuts piano
lagu-lagu mengucilkan sepi
api lilin pun mati ditiup mulut usia kencang
sekali
Lalu, apakah yang istimewa
dari pesta ini?
Hanya guguran wkatu
terkubur di lelehan lilin dan kue
dan orang-orang yang lalai
memakamkan ingatan
di gelak-tawa sendiri
Dan hidup seribu tahun
hanya speenggal sajak
yang tak selesai
Di Atas Nisan Ibu
Kukalungkan sajak
dan untaian bunga di tidur tubuhmu, ibu
bau kecubung rindu, mengepul biru
di pohon-pohon makam
gerimis melambaikan temu
di atas nisan aku dan kenangan
tertangkap dahan akar kamboja tua
Masih terbaca jejak tabah pada gurat tanah
wajah menunduk lalu tengadah
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Umi Kulsum
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 24 Juli 2016