Napak Tilas Alejandra Pizarnik (1) – Napak Tilas Alejandra Pizarnik (2) – Omerta
Napak Tilas Alejandra Pizarnik (1)
kumulai perjalanan ruhani dari pengasingan
tanah Argentinamu yang jauh di Amerika Selatan
di ujung tirus pandang dan gelisah suatu bangsa
: pemilik pungkasan lugu peribahasa
ketika malam para terasing tiba, malam yang entah
kau tunggu dari tanah jauh atau tanah yang dijanjikan
mata napak tilasku menangkap sinar murni puisi
di cawan tembaga berisi darah segar
: tangisan paling purna sepanjang zaman
usai hujan diam di negeriku, isak tangis jiwa
samar-samar berseliweran di pucuk dedaun mangga
seperti bahagiamu malam itu dengan limpahan buku
: sinar ingatan pengekal impian ideologi
napak tilasku ini, napak tilas penyair dungu
bertahun-tahun menabrak dinding idealisme
malam ini, aku khusyu’ memaknai eksistensi
yang kau kultuskan pada luka tunggal sang pecinta
aku pun menghamburkan diri ke pusat ledakan
bukit ingatan bangsamu-bangsaku
“hidup akan menjadi tindakan tulus,“ bisikmu
aku mengangguk sebagai penyair dungu
tak sehelai rambut pun ada keraguan
di kalbu. sebab, esok surat tak dikenal
akan berjumpa tangan-tangan jiwa,
pungkasmu sungguh!
Napak Tilas Alejandra Pizarnik (2)
usai kutanggalkan eksistensi di dingin lantai
berbayang gerak pena dengan tanganmu
kantuk mataku begitu sengat menusuk onak
sementara di negerimu, Clara Silva, menunggu
kelamnya peradaban manusia bangsamu
sebelum segala yang tersisa dari bangsaku
: lenyap dalam nyanyian
lonceng menara yang beku
Alejandra, Alejandra…
tiada sangsi bagiku: menyebutmu sang pecinta
pemangku abadi luka tunggal hidup sebuah bangsa
sebab aku mengerti selembar dari kitab kenangan
jika puncak segala kemelut derita jiwa
: gelak hampa di cakrawala
dan ujung akhir gedebar suka cita
: tangis sumringah memusik mayapada
malam pertama napak tilasku
telah berhamburan berbaris-baris
masa silam keputusasaan penuh sangkalan
yang tiba-tiba membatu sangkara beku
lantas keyakinan menyergapku saat melepas
bayangan wajah gaib para leluhur negeriku
kau pun pergi secepat sinar matahari
dengan kepolosan terakhir jiwaku
: bangsamu-bangsaku
maka kulepaskan engkau dengan tenang
setenang gunung membiarkan mata air
mengular ke lembah-lembah kehidupan
mengalir dari mataku (mata bangsamu?)
laiknya setangkup puisi hening-beningmu
mencair ke negeri-negeri seberang
Omerta
: Don Corleone
manusia, ras terganas di dunia
cinta, racun tak terbayar harta benda
sesaat peradaban semarak taman surga
akhirnya terporak-poranda serbuan propaganda
“omerta,“ sebaik-baiknya senjata
hukum bawah tanah pegunungan Sisilia
aturan maling di kandang-kandang sapi Madura
nian benar, diam adalah emas
dan Tuhan, kemasyhuran pemangku jagad rahasia
tertimbun kerakusan manusia atas nama cinta
“o, omerta,“ peradaban bergerak dalam genggaman
anak-anak bermata gadget bertanya,
“dari mana datangnya minmi pencakar langit?“
olah otak-daya pikir meledak-ledak
hancur-leburlah tatanan bumi
bersamanya Tuhan disandra
“omerta, omerta, omerta!“