Nasihat Seorang Empu – Aku Belum Bisa – Langit Mendung Istana – Ziarah
Nasihat Seorang Empu
tinggal sisa arang
yang masih tertinggal di depan tungku
besalen sepi ditinggal penghuni
batu dan kayu kalis dari karat
setelah menemukan guru tatah dan palu
tombak dan keris bisa jadi sebatas senjata
tergantung tangan yang memegangnya
“atas nama Tuhan
kutempa kalian dengan hembusan doa
pada landas laku, lekuk liku hidupmu
serta kutaburkan pernik pamor, lintang abyor
agar kembali kepada bebakalan
awal akhir setiap penciptaan”
tinggal sisa api dan bunga-bunganya
yang baranya bisa membakar setiap dada
menghanguskan diriku juga dirimu
seperti kisah dari sejarah yang genting
ketika hari membaja sekaligus membeku
jauh melebihi ketetapan: bahwa menghunus
lebih mudah daripada menyarungkan
Gandring hanya bisa melengking, di balik dinding
saat Ken Arok merebut waktu dengan jari kelingking
Aku Belum Bisa
sungguh, memang
aku belum bisa
mandi telanjang di sungai
menyelami pemali
batu cadas tersembunyi
membiarkan klangenan
kemana dahan hinggapnya
untuk menemukan setitik air
tanpa bergalas pasir
kedung, kali hidupku
kemudian menjelang petang
melenggang pulang
menjumpai tuan rumah
bernama siapa adanya
: Sutardi Harjosudarmo
Langit Mendung Istana
langit pun mendung
gunung dan laut berawan
galagasi keluar rumah
merobek jaringnya sendiri
kalajengking menyengat dinding
semut lumut keluar barisan
isyarat gejolak zaman
terbaca pada tembok putih
kalimat-kalimat letih, berselisih
silang sengketa merobek peta
prasasti pecah, silsilah terbelah
payung leluhur bukan lagi pitutur
buat menyongsong tamu agung
dalam senandung kidung
siapakah benteng terakhir
penjaga tanah, penjaga air
kalau setiap kepala
ingin bermahkota?
Ziarah
di pusara itu
masih ada tanda
nisan bernama
dikunjungi ditinggalkan
dengan doa dan taburan bunga
kalau aku ke sini, sesekali
barangkali hanya menginginkan
tentang kemarin dan esok hari
bahwa bumi tempat kita berdiri saat ini
adalah tengah pusaran yang bernama sunyi
akhirnya
aku engkau kembali
ke tanah: Jawa
