Di dalam Puisi – Jam Satu Malam – Seperti Isak – Akhir Februari – Setiap Ayah – Muara Keluh – Di Rumah Ibu
Di dalam Puisi
Barangkali. Hanya di dalam puisi,
sunyi begitu teduh dan tenang untuk
sembunyi. Menguliti segala bonyok
duka, merintih sendirian. Diam dan
cuma bisa mengeram. Ia, sosok
waktu yang tak pernah sempat engkau
rapikan. Sekalipun tubuhmu telah
wangi oleh busa sabun dan menyisir
rambut sehabis mandi pagi.
Dengan tertatih, ia menyulam
debu-debu sepi yang kian rindang.
Mungkin engkau bahagia. Seperti
bertemu dengan ingatan yang usang.
Terbaring, seperti ibu yang menunggu
di rumah besar, berharap anak-anaknya
segera pulang. Sebelum
senja datang dan matahari menghilang.
Di gelap langit.
Jam Satu Malam
Ia berdiam. Jam satu malam. Hanya gemna percakapan atau suara dengkur. Insomnia seperti kuntum bunga pada cuaca. rekah yang terlanjur muda. Ia berdiam. Barangkali ingin menanam biji puisi di beranda. Angin mengetuk tubir pagar. Seperti menelusup ke dadanya. Tapi kesedihan tak melulu indah untuk dikenang.
Di beranda, mnasa lalu cuma remah. Yang sulit dikubur atau sekadar dikumpulkan.
Seperti Isak
Seperti isak yang tak kelihatan. Tangisan itu bertahan. Sebentar lagi menjelma jadi amuk hujan. Tidak kentara bercampur udara, tapi perihnya mencekik leher, seperti sayat pecahan kaca pada biru nadi. Lalu jendela, hanya ada rangka kepala, memandang langit yang tak lagi jernih. Didapatinya kedua bola mata yang kelabu.
Seperti isak. bertahan di setiap gigir tanah negeri. Semakin di pinggir. Tergelincir.
Akhir Februari
-torang nainggolan
Di pangkal tangismu yang bayi, sudah terlewat. Remah yang membuatku tercekat, empat tahun yang memberat di badanmu. Aku, ayah bagi suami. Mungkin selalu abai di sepanjang harap. Tapi di langkah kakimu menuju taman, hanya ada isyarat riang. Kanak-kanak yang menetas dari kedua matamu.
Akhir februari menyentuh bilangan usiamu. Merebut kecut tahun. Kau yang terus bernyanyi nama-nama hari. Kalimat ajaib yang merekah dari bibirmu. Menggelembung di tubuhku. Ah, seketika aku teringat ayah.
Setiap Ayah
Di tubuh setiap ayah
akan ada jalan pulang
rumah yang bagai selimut
dari kepala yang kusut
Telah kugali-gali
tangis yang kecut
dan terduduk di sudut
segala sesal yanng sampai sekarang
hanya tertunduk
Maka aku ingat ayah
setiap percakapan
yang abai kutafsirkan
Lalu ayah mengerubung
di setiap hari
bahkan bertahun setelah dirinya
pergi
Di mata setiap ayah
selalu ada kegembiraan
meski hanya sebentar
bertemu
atau percakapan yang biasa saja
dengan anaknya
Muara Keluh
Suara dari kejauhan. Berenang melintasi hujan. Seperti gumpalan lumpur. Namun harapan hanya seberkas remang. Begitu penuh kubang. Di sana, orang-orang meludah. Menyimpan kata-kata yang pekat. Membangun kota yang dipenuhi asap. Hanya ada suara mengaduh, sementara jejalan makin terjal dan goyah. Kerumun mimpi yang tak kunjung beranak.
Lamat mendekat. Potret pejabat dengan senyum memikat. gegas hari merekam candu dari mimpi televisi yang wangi. Lalu kita pun mengalir, berharap ada muara jenuh. menyobek kalender dari tahun yang busuk dan berat. Namun suara itu kembali sekarat. Sebuah keranda mereguk luka.
“Seperti suara keputusasaan,” terdengar bisik yang halus. Entah dari mana. Samar
Di Rumah Ibu
Di rumah ibu, waktu menjauh. Menarik aku dengan lengannya yang kekar. Lalu wajah ayah tertawa. Tapi yang tergambar hanya sisa karat pada pagar dengan cat kusam. Di rumah ibu, percakapan terus berjalan. Seperti langkah kaki yang tergesa, memberi kabar pada remang tangisanku yang kanak. Tak pernah tanak.
Dan ibu cuma sendiri. Ia begitu kuat, menahan semua ingin yang terasa jadi dingin. Lantai keramik putih, kayu yang keropos. Tapi ibu bertahan sebagaimana nafas pada hujan. Yang membersihkan debu di jangat tubuh.
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Alex R Nainggolan
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 8 Oktober 2016