Kamar 341 – Aku tak Hanyut – Sajak Sakit I – Sajak Sakit II – Titik Nol Koma – Sejak Gerimis – Awan
Kamar 341
Aku bersiap hijrah dari kamar tak berwajah
Di sebuah sudut muram tanpa gelisah
Di ujung selasar yang mata lampunya berkedip
Dan suara rengeknya seperti peluit
Ini bukan stasiun kereta pembawa berita
Ini kamar yang bertimbun doa di sekujur renta
“Jangan pernah lupa sangkanmu” ujarnya
Lalu aku melipat rasa nyeri dari kepala ke kaki
Lalu sekujur tubuhku menari merangkai sepi.
Aku tak Hanyut
Aku tak hanyut meski hilang sujud
Aku tak hanyut pada namaMu berulang kusebut
Aku tak hanyut pada goda menghadang lutut
Aku tak hanyut pada ruku yg menyeringaiku
Aku tak hanyut, Tuhan.
Sajak Sakit I
Jam meleleh di dinding
Angka bimbang.
Seperti tulang Mencair di pembuluh bulir
Menuju tepian celuk akhir
Sajak Sakit II
Jeda menyiarkan gamang
Di ruang lampu temaram.
Denyut merekam ubun-ubun
Siapa limbung tertimbun aum.
Titik Nol Koma
Jam berhenti di titik ini, rasanya
seperti dalam lemari beku. Dingin
Tapi nama-nama mengalir diam
Menuju loket tempat wajah kaku
Kalau kau berpura menepis waktu, rasanya seperti
dalam sandiwara
Meneliti titik koma tanpa kata
Tak pernah jadi kalimat sederhana
Jam berhenti di titik ini, nol koma
Tak ada sapa. Bahkan siapa
Hanya sederet angka. Fana
Sejak Gerimis
Sejak gerimis mulai sempoyongan di antara teriak
tuter dan derit ban yang miris
Sejak gerimis menodongkan basah di antara jas
hujan dan laju sepeda yang resah
Sejak gerimis memilih jalan di antara aspal dan
kerikil yang terdesak ke pinggir
Sejak gerimis tak mau berhenti menjelang senja dan
sore yang ragu
Sejak gerimis itu aku tahu kau rindu dalam benamku.
Awan
Suatu saat berawan. Melayang. Angan-angan
tenggelam dalam remang. Dimakan segerombolan
mimpi. Ia bersisa, mungkin, disembunyikan angin.
Dingin menyebut 20 derajat.
Suatu saat berbeku. Seperti batu. Dari kutub waktu.
Utara, katamu. Tapi mata angin diam. Mata beranda
bicara. Tentang udara dan rindu yang menguap dari
celah pintu.
Suatu saat berseteru. Seperti cemburu. Menyulut
kepala hingga tubuh jadi jelaga. Sesekali ragu
menggebu. Tentang cawan berisi debu. Belum tentu
itu abu.
Lantas awan menjelaskan: Ini rekayasa alam.
Atau grundelan para petualang?
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” edisi Minggu, 4 September 2016