Secangkir Kopi – Seribu Pintu – Bocah Sial Penghuni Bangsal
Secangkir Kopi
Itu kopi bukan sembarang kopi
Itu kopi terbaik di negeri ini
Kopi robusta yang diolah alami
dari perut luwak keluar bersama tahi
Aromanya merangi
hitam legam mewarnai sunyi
Tersuguh di secangkir porselin
di atas meja jati bermarmer dingin
“Hmm nikmatnya pagi ini
ditemani kopi secangkir sepi”
Aku tersentak!
ini kopi buatan ayah setlah seratus hari meninggalnya
ibu
Ayah mengidap darah tinggi
jantung berdetak kencang sekali
paru-paru digerogoti tumor ganas
sesak nafas nyawa tinggal seutas
“Kopi ini akan melolosi kekuatan diri
plan-pelan mnyumbati urat nadi
melemahkan tubuh ayah yang ringkih!”
desisku nahan sedih
“Ini bukan sembarang kopi
ini secangkir kopi suci
yang keseratus kali
diolah dari cinta sejati
dari suami yang ringkih
untuk istri yang merepih
di tanah sunyi bergurat sedih,”
sambar ayah tanpa ekspresi
Hatiku tertampar lirih
bulu kudukpun merinding berdiri
Airmataku bergulir
kesetiaan tergelar mengukir
Di depan mata
yang selama ini membuta
“Ini kopi bukan sembarang kopi
ini kopi lambang kesetiaan sejati”
batinku meringkih
merepih
Seribu Pintu
Subhanallah
Maha suci Allah
Telah kucari jalan lapang tuk pulang
Telah kusibak bayang-bayang kelam menghadang
Namun yang kutuju berujung pilu
Namun yang kutemu pintu yang kelu
Seandainya waktu dapat kuputar
Kan kutapaki jalan terang bersinar
Astagfirullah
Allah maha besar
Seribu pintu telah kubuka lebar-lebar
Seribu pintu yang samar kukira benar
Ternyata langkahku tersesat
Seribu pintu bergelimang laknat
Maafkan aku yang tinggalkanmu
Ampuni aku yang mendustakanmu
Bocah Sial Penghuni Bangsal
Seorang bocah berjalan pongah
menyusuri malam usai tarawih
bocah itu lengah, lupa merapal doa-doa
tanpa sengaja kakinya menghujam
tubuh seekor ular hitam
hingga kesakitan
taring berbisa pun ia tancapkan
do bawah matakaki
hingga jenggirat meledak
jerit tangisan
Kaki membengkak
dilarikan ke rumah sehat
bisa ular ditolak
tiga hari sekarat
Sang bocah yang meremehkan doa-doa
hanya ditemani kakek renta
sementara sang nenek sekarat sakit menua
ayah bunda merantau ke negeri tetangga
Di hari keempat sang bocah telah bugar perkasa
sayang ia tak boleh pulang
lantaran sang kakek tak punya uang
untuk tebus kesembuhan
sang bocah pun ditahan
dipaksa menghuni bangsal
ditemani kecoak dan ketam
nunggu uang tebusan penuh berkah:
Satu juta delapan ratus ribu rupiah!
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Dulrokhim
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kedaulatan Rakyat” edisi Minggu 18 September 2016