Hujan – Mencintai Sungai – Merayakan Kesepian – Malam Satu Muharram – Kepada Nadia Elsizabert
Hujan
Tiada kuasa ingatan menghitung
gerimis yang perlahan turun
menjadi hujan dan kita memang
tak perlu tahu
sebelum langkah melenyapkan debu
bahwa sesungughnya hujan mencintai
tanaman jauh sebelum tumbuh
beratus pohon di ladang pekarangan
Kini kita tak boleh takjub pada
langit
karena ia telah berdegup di jantung
kita yang sempit
Jadung, 2016
Mencintai Sungai
Setiap sungai memiliki isaknya
sendiri-sendiri
air mata sunyi alir airnya
menahan sedu rincuku yang patah
maka di hulu yang jauh hatiku
rebahlah
Kini ladang ingatan akan terus
selalu basah
mengapung bersama kenangan
yang telah lapuk dan bergetah
aku merindu seperti juga sungai
merindukan tangan lembut
manusia
mengharap rongga-rongga dadanya
tak menjadi tumpuan pembuangan
sampah
Semak-semak terasa bergetar di
tebing yang curam
mencemaskan air sungai beku
sebelum hidup ini khatam
di kampung dan kota-kota
rumah dan ladang banyak terendam
sebab tak mampu menjalin cinta-kasih
padamu
walau hanya semalam
Angin wahai angin, desir kalbuku
malam itu
beritahu aku, di mana sembunyi air
mata
dari hulu ke muara tak terlihat lagi
celah embun sukma
maka dengan sedih dan eprih
kukepalkan
sendiri tangan ini
menjamah bintang, batu, dan
jalanan
yang membentang panjang
mengarah ke jiwa ngarai yang
penuh lubang
bahkan batas ladang yang lama
ditinggalkan
Di nganga jurang yang dilintasi
langkah petani
sungai adalah lengan Tuhan yang
membawa nasib
ke hulu jauh, adalah jantung yang
mengalirkan hidup ke muara
tunas-tunas tanaman berebut
tumbuh, meranting buah cahaya
padang-padang sunyi, bau kemarau
musim hujan
mari labuhkan diri biar hanyut
segala kegelisahan
Setiap sungai mengemban isaknya
sendiri-sendiri
langit kuning tembaga, ladang
tandus cemas di batas dahaga
seteguk tanah di lembah sawah,
bagai kerontang dadaku
tempat menanam sekarung rindu
di sungai, di tebing yang kudaki tak
pernah sampai
lihat, Tuhan begitu tenang menitipkan
arus kehidupan
Sumenep, 2016
Merayakan Kesepian
Aku rayakan kesepian ini meski
sendiri
sampai pedih-perih tertanam abadi
aku kini terbayang ayah di sisi
makam
senyumnya yang tabah tak pernah
terbenam
Aku mengingatnya dengan caraku
yang lain
seperti embun membekukan
kenangan di ruang batin
tapi masih tak kunjung kutemui
jejak alir darah mudaku
yang pernah diwariskan ayah untuk
membasuh lelah ibu.
Jadunng, 2016
Malam Satu Muharram
Angin merobohkan kesunyian
hingga tumbuhlah tunas-tunas
kerinduan
yang gugur dari mata bulan
Jadung, 2016
Kepada Nadia Elsizabert
Pagi buta, aku melihat burung
terbang
dari matamu
ketika ritmis embun turun ke ujung
daun melengkung
kau riang melepas senyum
merengek ke bundamu minta susu
lalu aku gamang menyentuh buah
menguning di ranting jantung
Usiamu kini menyusun bintang
cadas di pantai
dan bunga-bunga mekar di
halaman
lalu aromanya bertabur di dalam
rumah
menjadi pecahan canda-tawa kita
sedangkan aku dari jauh menyulam
kerinduan
menganyam doa-doa, menjahit
senyum bundamu
di helai jiwa
Dungkek, 2016
Rujukan:
[1] Dislain dari karya Subaidi Pratama
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Republika” Minggu 16 Oktober 2016