Napas Kabut – Undangan Debu – Undangan Debu – Purnama Kembar – Igauan Kabut – Lulungan Kabut
Napas Kabut
di kabut pekat kau dan aku
bertemu. wajamu dan wajahku
membalam, sekitar melulu
siluet dan derau. tak tentu
berapa tahun sudah pekat kabut
merungkup. pun tak tentu
kapan memudar. kau dan aku
bersikeras menaikkan suhu
bersikeras buka mulut. namun
lebih nyaring terdengar rahang
gemeletuk. kata-kata gemetar dan
patah-patah. tetapi karenanya
kau dan aku malu-malu
bergeser. malu-malu mengurug
jarak. jadilah berkali kau dan aku
bertatapa. napasmu dan napasku
berbaur. rerongga rabumu dan rabuku
penuh bauran napasmu dan napasku
Undangan Debu
butiran debu
beterbangan tak putus
di cakrawalaku
serupa kunang-kunang
menenung pandang
mengundangku terbang
Tuah Malam
kembali malam kehilangan bintang-bintang
kehilangan rembulan. kembali malam diguyur hujan
demikian deras, diterjangi angin demikian kencang
kembali malam berulang-ulang disambar geluduk
tapi malampun kembali menabur tuah tanpa huruf-huruf
walau basah kuyup, walau jalanangelap dan berlumpur
tanpa keluh-kesah, tanpa sedu-sedan, tanpa memuntahkan
sumpah-serapah, dan tanpa buang waktu barang sekejap
malam terus merangkak lampaui jarak menuju fajar
Purnama Kembar
dua matamu purnama kembar
malam-malamku berkilauan
jika menghilang matamu
gentayangan hantu-hantu
Igauan Kabut
tanganku terlalu kurus dan rapuh
tak mampu membendung luapan kabut
pun tak mampu menahanmu. tentu
gelombang kabut tambah menggunung
menyusul kau lalu. pohonan gedung-gedung
dan orang-orang mengabur. pun begitu
suara-suara. tak ada satu terdengar jelah
semua hanya derau. hanya lolong ajag
menghantami gendang telinga. biar demikian
aku tak beranjak. tetap menziarahi air mata
menelisik rahasia kata. menyigi misteri kita
merawat gairah cinta. jika kelak kau merasa
boyak, lelah, atau hatimu sampai terkoyak
kau tahu di mana alamatku. tak usah sungkan
jalan dan pintu cinta senantiasa terbuka
Lulungan Kabut
kembali kabut likat
merungkup. kembali segala
jadi balam-balam. kembalilah
saluran napas terseumbat
paru-paru seakan dalam rapat dan kuat
genggaman. mulut pun tak dapat
mengucap barang sekata
derau, yang berhembus hanya
derau. dan air asin meluap
membenam dua bola mata
hatiku jadi kian serupa pir yang
terus dilahap pisau. banjirlah
air asin semakin membanjiri
pelupuk. bahkan hingga menggenangi
ini kaki. aku pun berkeras nyaring
memmanggil-manggil namamu
namun hanya derau. hanya lulung
hanya lulungan ajag yang menyahut
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Hikmat Gumelar
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 22 Oktober 2016