Di Air Manis – Hujan di Steba – Ia Terus Meniup Pupuik Padi – Di Tepi Purus
Di Air Manis
Getar tali kapal mengirimkan resah
Musim kering yang sebentar basah
Tahun-tahun berjalan di balik kelimun
Dalam kumparan ombak pecah lamun.
Tapi wajahmu tak bersisa lagi di buih
Penghabisan ratap dari cerita yang lirih
Hanya hujan membangun altar di lautan
: Sepi ombak malas berlari dari kejaran
Nasib baik dan buruk bertemu di badan
Jarak yang tiba mengembalikan ke mula
Jauh badan dibawa iseng ketipak angin
Ingatan bagai air ini: sebentar jadi dingin.
(2016)
Hujan di Steba
Tali-tali angin putus di Steba
Dari Ulak Karang tinggal pautnya.
Kusapu pandnag ke kekal cuaca
Sebelum selesai hari baru bermula.
Berapa jauh jalan sudah kita tempuh.
Tapi habis pangkal bersua pada akhirnya
Di Steba, mungkinkah tali-tali angin putus
Atau hanya benang halus kusut di jiwa?
(2016)
Ia Terus Meniup Pupuik Padi
Mungkin ia terus meniup pupuik padi
Karena los masih membukakan saku
Para pelancong yang tak mau pergi
Dan karena menahan pedih sembilu
Yang diarahkan pandang seseorang
Jelang jenjang membenamkan tubuh.
Atau mungkin ia hanya betah berdiri
Sebab tergiur kepada sepotong celana
Yang mulai lapuk pada hanger biru itu.
Lantas terus meniup pupuik padi ini
Karena selalu gagal memberi judul
Bagi lagu yang didengarnya sendiri
(2016)
Di Tepi Purus
Daun-daun apakah yang kaususupkan
Hingga gelasku merah membayang?
Aku bertanya pada goni-goni rebah
Bagaimana muasal kota, lalu gamang,
Tapi hanya panas juga dan air terjerang
Yang menyebut sekian abad berselang
Sebuah kapal karam di sini dan kelasi
Tinggal tulang mulai menegakkan tiang
Bagi latar sederhana dan setaut dendang
Mengunci tubuh hingga tak ingin pulang.
Hatta, kini aku pun tak akan bertanya lagi
Buku jari siapakah yang meninggalkan
Separuh kelat hari silamku di sasar nanti
(2016)
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Boy Riza Utama
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Sabtu 19 November 2016