Amsal Gerabah
– dari penyair penggemar kartu pos kepada penyair pemuja keramik
Tiada hari libur bagi segunduk lumpur
Dia patuh pada mantra yang tak utuh
Berputarlah, meniru penari dengan satu kaki
Gemetarlah, sekujur tubuhnya diremas jemari
Tak terungkap niat awal
Hendak menyamar guci tempat menginap arwah
Atau cawan kemilau bagi sesaji rempah
Di ceruk ini, cahaya lahir dan mati, silih berganti
Ketika timur menjadi tujuan perjalanan
Sungai dan rawa mempersembahkan petuah
Sebuah rahasia yang tak ingin mengubah nasib
Disimpan kekal di bawah glazur: bening yang menipu
Paso demi paso bercerita melalui tattoo demi tattoo
Selingkar jejak naga berhenti di ambang kuil
Hujan, angin, dan telengas matahari
Memadatkan pengetahuan tentang kematian
Setelah kujinakkan adonan tepung, santan, dan gula
Kupinjam tungku gerabah kesayanganmu
Di atas bara kayu yang terus mrengangah
Kucetak wajahmu, kupanggang setengah matang
Jakarta, 2016
Jeihan
– dari penyair figur kepada pelukis figur
(1)
Dengan sepasang mata buta
Kupandang semesta
Dari dasar gelap
Kusadap cahaya
(2)
Mustahil kusembunyikan rahasia dari tatapanmu
Dalam ceruk hitam: semua tampak transparan
Yang dihela waktu, kembali sebagai milikMu
(3)
Di kanvas luas ini kuhamparkan tubuhmu
Tubuh yang melahirkanku
Tubuh yang kulahirkan
Kanvas terhampar ini: rahim kita yang berbeda
(4)
Kata-kata, sebagaimana warna-warna, kerap tak jinak
Mereka mbeling, mempermainkan makna
Mereka runcing, menusuk-nusuk mata
Dalam puisi, mereka bercanda
Dalam lukisan, mereka berpesta
Jakarta, 2016
Avi
– dari penyair yang belajar interior kepada penyair yang belajar arsitektur
Bagi senja yang sayapnya selebar cakrawala, waktu
adalah bentangan ruang
Tak lebih luas dari hatimu
Namun leluasa untuk secangkir kopi dan percakapan karib
tentang sejumlah kwatrin
dan komposisi piano Johann Sebastian Bach
Di bawah bukit, kota menyapa dengan morse cahaya
Mengingatkan rencana makan malam:
dimsum hangat di cawan tembikar
Angin mengirim salam terakhir koloni burung yang terbang pulang
Menit tak akan mangkir, bahkan ketika kita lupa bersulang
Tangga menuju rumahmu disusun dari bilah-bilah kenangan
Taman ditumbuhi aneka peristiwa, kini berkisah kembali
Riang diwakili kemuning dan cempaka, hampir
menampik melur dan kenanga yang basah air mata
Biarlah cemara yang jangkung dan rimbun soka
menjadi pelindung dari aum serigala
Di credenza, tahun-tahun terhenti, abadi:
Wajah kecilmu,
doa-doa dari tanganmu,
senandung dari mulutmu
Jam menjatuhkan detik serupa gerimis, berserak
di lantai foyer. Terpantul pada kristal lampu
dan kertas perak pembungkus hadiah
Di bawah rasi Gemini engkau menari
dari ruang ke ruang:
Terakota beranda,
patio tempat patung mengaso,
pantri penuh pastri,
kamar tidur untuk dongeng yang melantur
Tak ada janji sesudah ini, misalnya dengan puisi yang nyeri
Rasa takut melahirkan pertanyaan
: adakah cinta masih mudah diunduh dari reranting yang rapuh?
Masih banyak tempat pakansi untuk mengistirahatkan imajinasi
Negeri muasal korintian atau kapel-kapel ungu
Tanah semai euforbia atau kubah yang selalu dirundung salju
Jakarta, 2016
Purnama
– dari penyair rumah anggit kepada penyair sahaja
Ia berjalan lambat ke barat
Dengan puisi di tangan, di antara kapas-kapas awan
Pada akhir putaran dadu sang pemindai waktu
Ia tiba di langit Paris sebe…
Dalam perjalanan itu: raganya terus bercakap dengan jiwanya
Maut menjaga jarak seperti penujum yang sabar
Malam adlaah bagian yang menyengangkan
Dari serangkai kesibukan menerima tamu
Mereka menyamar sebagai damar yang melekat pada kain
Kadang beralih rupa rama-rama di taman seluas mata
Menyusup ke dalam sup di mangkuk tembus pandang
Atau sekadar sepat kopi yang kekal di lidah
Setelah kaki linu dan sayap seolah beku
Seluruh wahyu merasuki sukma
Bertukar tenaga dengan cahaya
Untuk malam-malam berikutnya
Penunjuk jalan bagi pengembara yang belum rehat lewat senja
Ia terus melayang ke barat
Tempat sebagian pengetahuan berpusat
Lambat laun lesat, ia salin sebuah sejarah
Puisi adalah sulingan sunyi dari perasan darah
Jakarta, 2016
Anya
– dari pengoleksi korek api kepada pemilik kembang api
Bumi kembali datar
Setelah berabad-abad berputar
Dan waktu bagimu (selalu) melingkar
Seperti spiral
Ketika segugus kota terayun di ujung tongkat seorang per8i
mantramu menyalakan api
Ini pesta yang berlangsung pada pikiranmu:
Sebuah mimpi yang dijauhkan dari para penyamun
Sebab kau ingn snediri
sampai suatu saat mahir
bermain senja dalam kepungan waktu
yang singgah hanya sebentar
Orang-orang kembali emmbuat onar
Setelah sekian lama gentar
Dan fatwa sudah diucapkan
Untuk tidaka menanggalkan keyakinan
Biarlah aku berjalan merasakan hangat jejakmu
Di kafe-kafe kesepian, di sepi-sepi persinggahan
Masih kaudengar pujian seorang teman
Pada rambutmu yang menawan
Sungguh, ini pesta yang berlangsung hanya pada pikiranmu:
Kaunyalakan kembang api
Dan aku berlari melingkar
Seperti waktu. Seperti spiral/
Jakarta, 2016
Kurnia Effendi lahir di Slawi, Jawa Tengah, 20 Oktober 1960. Di antara 16 bukunya yang telah terbit, ada tiga kumpulan puisi: Kartunana Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), dan Senarai Persinggahan (2016).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Kurnia Effendi
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” edisi Sabtu 21 Januari 2017